-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 8 Bab 2 Part 4 Indonesia

Bab 2
Perjalanan Sekolah Sebagaimana Aslinya


4


Setelah menghabiskan waktu di area ski, kami tiba di ryokan sebelum jam 5 sore.

Dari grup 1 secara bergantian menuju ke lobi untuk menuju ke ruangan yang telah dibagikan.

Tak lama kemudian, menyusul giliran kami grup 6.

Eksteriornya dibangun dengan nuansa sejarah, tapi lobi dan interior lainnya terawat dengan baik dan bersih.

Aku berganti alas kaki dengan sandal hotel, letakan barang bawaanku yang berisi pakaian dan lain-lain di kakiku, dan menunggu untuk menerima kunci.

“Aku tahu sih, tapi aku akan tidur bersama dengan anggota ini ya.”

Setelah menerima kuncinya di lobi, Watanabe mendesah sedikit sedih.

Kami akan beraktivitas bersama di ruangan yang sama dalam grup yang sama mulai hari ini, dan ini tidak dapat diubah.

Jadi apakah ruangan itu bisa menjadi ruangan yang nyaman atau tidak itu tergantung pada diri kami sendiri.

“Oi, Watanabe.”

Ketika namanya dipanggil, Watanabe berbalik dan melihat tas Boston menjulang di depannya.

(Tln: tas Boston = tas travelling)

“Uwaah!”

Setelah menangkapnya dengan kedua tangannya, Watanabe terkejut, tidak bisa menerima apa yang terjadi.

“Bawakan ke kamar. Aku mau mandi.”

Ryūen menyerahkan barang bawaannya sendiri, dia ingin agar Watanabe membawakannya.

Sementara Watanabe yang tidak punya nyali untuk menolak tersenyum pahit, Ryūen menghilang ke arah yang mungkin adalah pemandian umum besar.

“Uuh... aku gak yakin bisa jalanin ini semua.”

“Biar aku yang bawa.”

“Enggak, gak usah. Akulah yang diminta bawa.”

Daripada yang diminta bawa, lebih tepatnya dia menyuruh orang yang tampaknya paling mudah disuruh.

“Berikan padaku. Biar kukembalikan padanya, tidak, maksudku ke neraka.”

Melihat perilaku Ryūen yang arogan, Kitō mencoba mengambil tas Boston yang dipegangnya.

Aku merentangkan tanganku di antara Kitō untuk menghentikan niatnya.

“Lebih baik jangan lakukan sesuatu yang tidak perlu. Yang akan kena batunya nanti malah Watanabe.”

“Jadi kau ingin membiarkan dia berbuat semaunya? Jika kamu pasrah, hal serupa akan terjadi lain kali. Aku tidak peduli jika dia memperbudak kelasnya sendiri, tapi Watanabe adalah seorang siswa di kelas Ichinose.”

Apa yang dia katakan benar.

Tapi meskipun begitu, itu tidak bisa diterapkan pada barang bawaan ini.

“Kita harus tinggalkan tas Boston ini dan berbicara langsung dengannya.”

“Bagaimana jika dia tidak mau mendengarkan? Kau ingin membuat Watanabe menderita selama perjalanan?”

“Ah enggak, aku tidak bermaksud membuatnya menderita...”

(Tln: Anjir, Kitō kena ceramah dong, sampe gagap)

“Jika Ryūen berbuat semaunya pada Watanabe lagi, aku akan menghentikannya.”

“Kamu?”

“Jika dia masih tidak mau mendengarkan, aku akan bertanggung jawab atas segalanya.”

“Itu bukan solusi yang mendasar.”

“Tidak juga. Jika orang yang dititipkan itu tidak mau, itu adalah sebuah pemaksaan. Sebaliknya, jika orang itu tidak merasa kesulitan ketika dia dimintai sesuatu, aku hanya berpikir kalau itu malah demi kebaikan grup. Jadi masalahnya hilang, bukan?”

Kitō percaya bahwa segala sesuatu harus dilakukan oleh diri sendiri.

Dia mungkin tidak setuju dengan pendapatku, tapi dia pasti akan bisa memahaminya.

“...Terserah kamu.”

Dia menatapku untuk beberapa saat, tapi akhirnya Kitō menyerah karena mungkin tidak bisa membalas.

“Maaf ya Ayanokōji, aku melibatkanmu.”

“Ini bukan salahmu, Watanabe. Sudah sepantasnya kita saling membantu untuk menyelesaikan masalah yang ada dalam grup ini.”

Tepat ketika aku melihat ekspresi lega di wajah Watanabe, dua kunci kamar diberikan oleh pihak ryokan.

Hampir pada saat yang sama, Kushida dan ketiga gadis lainnya juga menerima kunci dan datang ke sini.

“Begini. Aku pikir kita harus mendiskusikan tentang aktivitas grup mulai besok. Karena kita di Hokkaidō, kita semua pasti ingin pergi ke tempat yang berbeda-beda.”

Sangat penting untuk membuat rencana awal, tapi grup kami anggotanya seperti ini, sehingga kami belum bisa mendiskusikan aktivitas bebas hingga saat ini.

“Jadi kami semua para gadis akan berkunjung ke kamar anak laki-laki malam ini... gimana?”

“O-Oh, ide bagus tuh.”

Watanabe terlihat senang ketika mendengar bahwa para gadis akan datang untuk bermain.

Di sampingnya ada Kitō mendengarkan, dia tidak menanggapi apa pun secara khusus dan tetap diam.

“...Umm... A-Ayanokōji juga setuju, ‘kan?”

“Iya itu ide bagus.”

Karena tidak bisa mengabaikan ekspresi Watanabe yang gusar, Kushida tersenyum dan menyatukan kedua tangannya.

“Jadi sudah diputuskan. Sampai jumpa nanti. Aku akan panggil Amikura-san dan yang lainnya. Aku akan hubungin Ayanokōji-kun dan Watanabe-kun kalau detail waktunya sudah dapat.”

Para gadis saat ini pasti sedang menikmati ryokan, seperti berendam di pemandian air panas atau makan malam.

“Ayo kita pergi ke kamar kita juga.”

“Ya.”

Anak laki-laki tampaknya menempati kamar-kamar di area yang disebut gedung timur.

Sementara itu para gadis berada di gedung utama. Karena terhubung dengan lobi, perjalanan pulang pergi itu sendiri tidak terlalu jauh atau sulit, tapi kami benar-benar harus dipisahkan berdasarkan jenis kelamin.

“Iyaah, baik banget ya Kushida-chan? Cantik pula.”

Aku sendiri pernah berpikiran sama bahwa Kushida memiliki daya tarik buat anak laki-laki.

Masuk akal jika dia terpesona olehnya dari sebuah hubungan yang dangkal.

Jika siswa seperti Watanabe menemukan sifat asli Kushida, entah apa yang akan terjadi.

“Sukur ada dia, membayangkan bagaimana jadinya jika tanpa Kushida-chan membuatku bergidik.”

Dia benar, Kushida bisa mengatur dan memandu grup ini dengan baik. Pertemuan untuk memutuskan aktivitas bebas hanya akan ditungda-tunda jika tidak ada yang mengambil inisiatif dan memimpinnya.

Aku hanya bisa berterima kasih padanya karena telah berupaya menghindari hal itu.

Tapi aku tidak tahu apakah itu akan menyelesaikan semua masalah.

Bagaimanapun, masalah terbesarnya adalah Ryūen dan Kitō.

Sejak grup nomor 6 dibentuk dan mulai bergerak, mereka terus mencoba saling membunuh.

Situasinya selalu bergejolak, karena kedua belah pihak saling memeriksa dan menyelidiki satu sama lain.

Kami menyusuri koridor menuju kamar 203 diiringi oleh suara tepakan sendal.

Kunci dimasukkan dan pintu yang menuju ke dalam ruangan dibuka.

Bagian dalamnya cukup luas, kamar bergaya Jepang dengan luasnya sekitar 12 tikar tatami, lalu meja dengan empat kursi.

Selain itu, ada meja mini dan 2 single sofa di dekat jendela.

Aku sering melihat pemandangan yang seperti ini di TV, ini benar-benar ryokan yang mewah.

Setelah menaruh barang bawaanku di kamar bergaya Jepang, aku langsung membuka kulkas.

Di dalam selain air gratis, beberapa minuman ringan juga selalu tersedia.

Hanya saja, harga per botolnya lebih tinggi daripada harga pasar, jadi tidak ada alasan untuk mengambilnya.

Sepertinya ada mesin penjual otomatis di lobi, jadi jika kami butuh, kami bisa pergi dan membelinya.

Kitō memasuki ruangan dan duduk di pojokan tanpa suara, memejamkan matanya.

Dan entah kenapa, dia duduknya bersila.

Si Kitō itu tidak kugubris dulu untuk saat ini dan aku membuka file tebal bertuliskan panduan.

Di dalamnya terdapat daftar informasi yang lengkap, mulai dari peta dalam gedung hingga nama dan kata sandi koneksi internet yang disediakan oleh ryokan, dari deskripsi mandi perjalanan sehari hingga tempat-tempat menarik di sekitar.

Mungkin ini bisa dipakai dalam diskusi dengan Kushida dan para gadis lainnya.

Setelah melihatnya sekilas, terakhir aku pergi untuk melihat-lihat toilet dan fasilitas lainnya.

Aku juga mendapati bahwa tidak ada kamar mandi pribadi di dalam ruangan, jadi mandi harus dilakukan di pemandian umum besar. Aku tidak terlalu mempermasalahkan hal ini.

(Tln: Waduh, gimana dengan Kei nih?)

Aku sendiri lebih suka menikmati pemandian umum besar berulang kali daripada berendam di bak mandi kecil.

“Nah...”

Makan malam dimulai pukul 19.00, tapi masih ada banyak waktu luang.

Kalau begitu, lebih baik aku ke pergi ke pemandian umum besar. Pasti sudah banyak yang kesana.

“Aku mau mandi dulu.”

“Ah, tu-tunggu sebentar. Aku ikut!”

Watanabe yang sedang duduk di kursi lantai berdiri hingga hampir jatuh.

“Bagaimana denganmu, Kitō?”

“Aku nanti saja.”

“Oh. Kalau begitu aku tinggalkan kuncinya satu. Aku akan beritahu Ryūen pas ketemu nanti.”

Jika Ryūen kembali ke kamar dan semua orang tidak ada, dia tidak akan bisa masuk ke kamar.

Itu akan jadi merepotkan, jadi harus dihindari.

Begitu berjalan keluar ke koridor dan menutup pintu, Watanabe bergumam dengan berbisik.

“Apes dah. Kita nanti akan tidur bareng Kitō dan Ryūen, ‘kan? Kira-kira kita masih hidup gak ya besok pagi?”

“Itu berlebihan.”

“Yah, tapi ini 4 malam loh, 4 malam. Bisa aja terjadi suatu kesalahan selama waktu itu.”

Jika demikian, itu pastinya akan menjadi kesalahan yang besar.

Tapi, mengesampingkan persoalan Ryūen dan Kitō, aku tidak terbiasa tidur dengan dengan orang lain.

Di kamp pelatihan tahun lalu, dan dalam keseharian ku dengan Kei juga aku jadi lebih sering berbagi waktu tidur, aku ingin tahu apakah akan tiba saatnya nanti aku akan bisa menerimanya dengan mudah.

(Tln: Terbukti. Kiyotaka dan Kei sering tidur bareng)

Aku sudah terbiasa tidur sendirian sejak kecil, jadi Kebingungan akan perubahan lingkungan belum hilang.

“Entah kenapa. Kau itu mudah diajak bicara ya, Ayanokōji.”

“Iya kah? ...Aku sendiri tidak tahu.”

Aku senang mendengar itu, tapi aku tidak bisa tidak merasa seperti aku hanya dibandingkan dengan kedua orang itu.

“Ha~ah, aku jadi bisa mengerti kenapa Ichinose pun sampai menyukaimu Ayanokōji———”

“Eh?”

“Ah, enggak! ...Lupakan yang barusan!”

Dia sadar sudah salah berucap dan mengoreksinya, tapi aku sudah mendengarnya dengan jelas.

Yah, mendengar itu pun tidak akan ada yang berubah sih....

“Dari ekspresimu, kelihatannya kamu sudah tahu?”

Saat aku tidak menjawab, Watanabe tampak sedikit lega.

“...Aku mendengarnya. Gadis-gadis membicarakan hal itu. Menurutku, sebagian besar anak laki-laki masih menyukai Ichinose tanpa mereka sadari. Tapi kamu itu pacaran dengan Karuizawa yang satu kelas denganmu, ‘kan?”

Kujawab dengan anggukan karena itu adalah fakta yang tidak perlu disangkal.

(Tln: brrrrr, emot kedinginan dan blushing)

“Pasti rumit buat anak laki-laki yang menyukai Ichinose. Enggah ah, mungkin malah lebih banyak orang senang karenanya.”

“Kalau Watanabe?”

“Aku? Aku... yah, itu rahasia.”

Dari sikapnya yang tenang, tidak menunjukkan bahwa dia memiliki perasaan khusus untuk Ichinose.

Aku tidak tahu siapa itu, tapi dia tampaknya memiliki perasaan terhadap gadis lain.

“Perjalanan sekolah ini bisa dikatakan adalah acara yang besar, bukan? Mungkin, tidak hanya satu atau dua orang yang mengaku kepada gadis yang mereka sukai.”

“Iya kah?”

Memang benar, Sudō juga bertekad untuk mengaku pada Horikita dalam perjalanan sekolah.

Aku bertanya-tanya apakah itu bukan hal yang aneh dan merupakan acara yang penting bagi para siswa.

“Keknya aku juga~... jika saja aku punya sedikit lagi keberanian, aku akan mempertimbangkannya.”

Sepertinya dia hanya membayangkan berbagai hal, tapi menggelengkan kepalanya frustrasi.

“Pokoknya, aku yang sekarang belum tahu banyak tentang makhluk yang disebut gadis ini. Aku ingin mulai berlatih dengan membuat kesan positif pada para gadis dalam grup agar mereka menyukaiku. Jika aku bisa jadi pria yang meninggalkan kesan, aku bisa membangun pengalamanku untuk dipraktekan nantinya.”

Aku baru berinteraksi dengan Watanabe kurang dari setengah hari, tapi aku sama sekali tidak mendapatkan kesan yang buruk tentangnya.

Tidak salah lagi kalau ia pada dasarnya adalah pria yang baik. Dia agak mudah terpengaruh dan merupakan tipe pria yang tidak bisa mengatakan tidak pada apa pun, tapi dia juga memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan cukup baik dengan pria maupun wanita. Prestasi akademik dan fisik di OAA keduanya C+, sedikit di atas rata-rata. Nilai-nilainya yang lain juga C atau lebih tinggi. Dengan kata lain, tidak ada kesalahan yang bisa disalahkan. Meskipun tergantung pada incarannya, aku bisa melihat bahwa ada cukup peluang, tapi....

Ada banyak faktor yang saling terkait dalam cinta, penampilan dan kemampuan semata tidak menentukan keberhasilan atau kegagalan sebuah pengakuan.

Karena itu sangat tergantung pada hubungan yang telah dibangun antara kedua pihak selama ini, aku ingin tahu apakah mungkin untuk memastikan hasilnya hanya dalam setengah hari bersama.

Related Posts

Related Posts

5 comments

  1. Kei nggak mandi selama empat malam :v
    Tapi mungkin Kei sudah mulai agak berani karena udah cerita ke Sato juga...

    ReplyDelete
    Replies
    1. kan gaada kamar mandi pribadi , jadi mandinya di satu tempat barengan . mungkin dibagi waktu nya rombongan pertama laki2 kedua perempuan

      Delete
    2. Bukann. Kei kan kalau ga salah inget ada bekas luka atau apalah

      Delete
  2. Mungkin Kei mandinya belakangan pas semua orng udah pada selesai...

    ReplyDelete