-->

Cari Blog Ini

Love Comedy in The Dark Vol 1 Episode 5 (2)

Episode 5 (1)


Selusin atau lebih Kitamura berbicara serempak seperti speaker surround.

Kupikir dia bercanda. Jika situasinya tidak seserius ini, pastinya itu hanya candaan.

Tidak, tidak.

Biarpun itu dikatakan olehmu yang tanpa ekspresi dan seperti program. Aku bingung untuk menjawabnya.

Sambil mengubah keringat dingin menjadi keringat berminyak aku berpikir.

Berpikir dan memilih kata-kataku dengan hati-hati.

“Aku bisa.”

Aku mengangguk.

“Jika kau bertanya apakah aku bisa atau tidak bisa, aku bisa.”

“Sungguh?”

“Aku bisa. Malah aku bisa melakukannya kapan saja. Jangan remehkan pria suram tulen. Tidak ada apa pun di kepalaku selain nafsu. Itu sangat mudah. Bahkan aku berani bertaruh nyawa untuk itu.”

“Tapi Jirƍ tidak mau melakukannya denganku.”

“Maksudmu ketika kau datang ke rumahku tanpa di undang? Tidak, jangan konyol. Aku bukan kuda pejantan. Kau tidak bisa tiba-tiba memerasku dengan mengatakan, baiklah, silahkan lakukan sekarang juga. Dan ngomong- ngomong, itulah yang sedang terjadi sekarang, bukan? Aku tidak bisa jika diminta tiba-tiba. Tidak peduli setulen apa aku sebagai pria suram, aku jelas tidak bisa.”

(Tln: Memeras diatas dalam artian mesum ya)

Benar, ‘kan?

Perkataanku tidak salah, bukan?

Bagaimana pun juga aku rasa itu tidak mungkin. Eh, apa tidak juga?

“Lagipula.”

Aku mengubah percakapan ke arah lain.

“Apakah Kitamura akan senang dengan itu? Dalam situasi yang tidak kumengerti, tanpa persetujuan pihak lain juga, kau mengatakan hal-hal seperti berhubungan badan atau tidak berhubungan badan. Apa kau benar-benar puas dengan itu? Apa itu benar-benar yang kau inginkan?”

“......”

“Selain itu, kau sama sekali tidak terlihat bahagia, ‘kan? Tentu saja kau juga tidak terlihat senang. Malah, kupikir kau tampak seperti sudah lama menderita. Aku bisa bilang begini karena, kemarin ketika kau datang ke rumahku, kau sudah melakukan semua hal yang ingin kau lakukan, bukan? Semua itu, rasanya bukan hal yang baik. Kemarin tidak terjadi apa-apa, tapi jika ada sesuatu yang terjadi, apa kau benar-benar akan senang dengan hal itu? Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu.”

“......”

“Aku tidak tahu apa yang kamu pikirkan, apa yang terjadi dalam hidupmu. Aku tidak bertanya karena aku tidak tertarik. Tidak, itu kurang tepat... mungkin, aku menutup mata. Kurasa aku takut, agaknya. Fakta bahwa kau yang dulu dan kau yang sekarang telah banyak berubah, bahwa aku yang dulu dan aku yang sekarang telah banyak berubah. Aku tidak ingin mengungkitnya. Tentu saja aku tidak mau mengakuinya. Hal semacam itu tidak ada hubungannya dengan apa yang ingin kita lakukan atau apa yang kita harapkan, itu adalah sesuatu yang berubah dengan sendirinya... ah mou, aku jadi tidak tahu apa yang aku bicarakan.”

“Apa pun itu.”

Kata Kitamura Tƍru.

Perlahan, seperti sebuah mesin.

“Jirƍ tidak membalas perasaanku.”

“Bukan, yah, mungkin begitu tapi! Itu mungkin benar, tapi bukan itu yang aku bicarakan!”

Terjadi dalam sekejap.

Sesuatu yang mirip sulur, tipis dan lentur, berbeda dari gelondongan sulur besar monster, muncul tiba-tiba. Itu tumbuh dari punggung Kitamura Tƍru seperti sayap burung merak, dan kemudian dengan cepat menelan seluruh tubuhku.

Aku diangkat tinggi-tinggi.

Mengikatku dengan kencang.

Rasanya seperti tulangku patah. Mungkin organ dalamku telah tumpah keluar.

“Aku tahu. Bukannya aku tidak beruntung.”

Aku merasa seperti akan kehilangan kesadaran.

Tidak, mungkin sudah hilang kali?

Aku seperti tidak bisa sepenuhnya memahami diriku sendiri. Jati diri yang seharusnya memiliki karakter yang pasti, tiba-tiba goyah dan terdistorsi seperti coretan anak kecil.

“Aku benar-benar diberkati. Mama jadi tidak karuan sejak ditinggal Papa, kehidupanku tidak mudah, tapi bukan berarti aku tidak bisa makan, dan hidupku juga tidak dalam bahaya karena aku hanya sesekali dipukul. Aku masih bisa mengeluh, mengomel, dan memberontak. Tapi.”

Tapi tidak sakit sama sekali.

Apakah aku sudah melewati dimensi itu? Keknya ini benar-benar gawat.

“Tapi aku tidak bisa mengendalikan perasaan ini. Perasaan ingin menghancurkan segalanya. Aku tidak tahu apakah ini kemarahan, kesedihan atau keegoisan. Aku hanya ingin melakukannya, dan aku tidak bisa menghentikannya. Sudah tidak bisa kuhentikan, semuanya.”

Meski begitu aku.

Dengan segenap kekuatanku, aku berkata.

“Aku tidak tahu, Kitamura. Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku tidak bisa berada disisimu. Aku tidak membencimu. Aku jengkel setengah mati karena kamu telah menjadi yanki dan menjadikanku pesuruhmu, dan kupikir aku akan membuatmu mengerti suatu hari nanti, tapi tidak dengan cara ini.”

Enak ya, ngelantur tuh.

Aku tidak perlu memikirkannya.

Cukup katakan saja apa yang kupikirkan.

Benar-benar mudah. Sangat berbeda dengan diriku yang terpaksa meringkuk seperti kura-kura karena aku secara refleks menciut ketika ada sesuatu yang ingin ku katakan.

“Biar kukatakan sekali lagi, Kitamura.”

Aku tidak perlu kasihan. Aku tidak perlu memikirkan betapa dia akan terluka, atau bagaimana dia akan balik menyakitiku karena aku menyakitinya.

Jadi aku akan mengatakannya.

Karena aku sekarat. Di saat seperti ini, biarkan aku melakukan apa yang ingin kulakukan tanpa tawar-menawar. Biarkan aku mengatakannya.

Karena hanya itu yang bisa dilakukan, oleh pria suram yang sudah kehilangan fokus.

“Kitamura. Aku, tidak bisa, berpacaran denganmu.”

Kataku padanya.

“Aku tahu itu.”

Kitamura menerimanya.

Dia yang tadinya tanpa ekspresi seperti topeng Noh, tertawa seolah-olah ada sesuatu yang meledak.

Ah, aku benar-benar akan mati. Firasatku.

Aku tidak melihat lentera berputar. Aku tidak menyesal, aku pun tidak merasa puas.

Satƍ Jirƍ dengan pasrah menghilang dari dunia ini tanpa melakukan apa pun, terjebak dalam sesuatu yang tidak kumengerti, tanpa menemukan solusi apa pun.


Zudon.


Saat itulah.

Aku merasa. Ada guncangan hebat.

Kuulangi, aku sudah lama kehilangan fokus.

Semua pemandangan yang dilihat oleh mataku, dan realitas yang tergambar di kepalaku, bagaikan mandala yang digambar tanpa henti, dan ini mungkin efek dari pengeluaran zat intraserebral yang kacau, tapi aku tidak bisa menilai semuanya dengan benar.

Oleh sebab itu aku, aku akan coba menjabarkan pemandangan yang kupikir aku lihat dan suara-suara yang kupikir aku dengar, apa adanya. Jangan terlalu memikirkan integritasnya.

Yumiri terbang kearahku.

Kitamura mencegat.

Dalam sekejap, Kitamura menjadi besar, kompleks dan bahkan terbelah. Pemandangan ini mengingatkanku pada sekumpulan pohon Rafflesia yang bermekaran di kedalaman hutan yang belum terjamah. Dengan kata lain, ini menakjubkan, indah dan benar-benar berbahaya.

Yumiri menyerang tanpa ragu dan mengayunkan Dragon Slayer-nya.

Kitamura melawan balik dengan sengit.

Hasilnya. Aku diselamatkan. Yumiri terluka. Kitamura juga terluka, tapi lukanya sembuh dalam waktu singkat.

“Gawat nih.”

Kata Yumiri. Sambil menggendongku dengan satu tangan.

“Mungkin perkiraanku agak naif. Meskipun terpaksa, mustahil untuk memberikan pengobatan di wilayah yang belum dipetakan. Ini ibarat mencoba melakukan operasi yang sulit di medan perang di mana peluru beterbangan.”

Dia menggendongku dengan satu lengan itu karena lengannya yang lain sudah hilang.

Separuh bagian kanan wajahnya yang meringis pun sudah tidak karuan. Memar dan luka-lukanya terlalu konyol untuk dihitung, dan kaki kirinya bengkok secara tidak wajar. Dan bahkan ada lubang besar di tengah perutnya.

Dengan kata lain, dia babak belur.

Dalam pertempuran singkat, Yumiri terluka parah.

Lukanya fatal. Jika manusia yang berdarah-daging terlihat seperti ini, 100% orang akan menelepon ambulans, dan setelah melakukan itu, dia akan berpikir dalam hati bahwa itu sudah terlambat.

“Tenanglah, Jirƍ-kun.”

Ah.

(Tln: Mulai dari sini monolongnya berlanjut tanpa putus)

Dia yang begitu membanggakan kebebasannya.

Tak sepantasnya terlihat seperti ini. Bagaikan kupu-kupu yang indah, dimana sayap dan anggota tubuhnya dilucuti oleh keingintahuan seorang anak kecil yang polos hingga menjadi seekor ulat yang merayap di tanah.

“Yang kau lihat ini bukanlah diriku yang sebenarnya.”

Ia muncul di depanku seperti badai, melakukan apa pun yang ia inginkan seperti badai, dan selalu terlihat seperti ia tahu segalanya.

Pada dasarnya sikap merendahkan, namun tak ada kesombongan, dengan alami, melakukan apa yang ingin ia lakukan dan tidak memperdulikan orang yang terlibat.

“Dunia nyata tidak sama dengan dunia celah ini.”

Dia penuh percaya diri, parasnya sangat menawan, payudaranya besar dan kakinya panjang, namun begitu langsing, keberadaannya sendiri seperti keajaiban, ada kalanya ia terlihat sok, sedikit cemburu, dan bangga saat dia bercosplay dengan mantel putih berrok mini.

“Ini mirip dengan area unik yang kau ciptakan setiap malam. Mereka saling terkait erat, tapi tidak sama persis.”

Benar.

Kuulangi, tepat seperti yang ia nyatakan sendiri, dia bebas.

Gadis bernama Amagami Yumiri ini. Ia seharusnya menjadi elang yang membumbung tinggi di langit, sosok tunggal yang sayapnya tidak pernah terkoyak dan tidak pernah merangkak di tanah.

“Dengan kata lain aku masih belum mati. Aku belum tamat.”

Salah siapa itu?

Salahku.

“Aku melakukan beberapa hal yang nekat untuk menyelamatkanmu, tapi itu sudah diperkirakan. Yah, ini kesalahanku karena dihajar begitu parah... ah mou, sial.”

Yumiri berakhir seperti ini karena aku.

Dia terluka dan ternodai karena aku.

“Aku tahu kau adalah tipe orang yang sangat ribet dan pemarah, tapi berjiwa kepahlawanan yang anehnya jantan dan merepotkan. Aku memintamu untuk merayu Kitamura Tƍru, tapi kau akhirnya malah melakukan dan mengatakan hal yang sebaliknya.”

Diam-diam aku mengagumi dan menghormatinya.

Bagiku, Amagami Yumiri adalah pahlawan yang cukup pantas mendapatkannya.

“Aku salah langkah. Aku berusaha agar hal ini tidak terjadi. Yang ada ini malah akan membangunkan anak yang sedang tidur.”


Yang kurasakan pada saat itu adalah, misalnya, kemarahan, keputusasaan, ketidaksabaran, rasa tanggung jawab atau misi.

Ini tidak boleh terjadi.

Ini tidak bisa dibiarkan saja.

Apa pun yang terjadi, situasi ini harus dibereskan.

Dalam mandala yang digambar dengan kuas zat intraserebral, aku berjuang sekuat tenaga, mencari cara terakhir, sementara diriku terombang ambing di perairan keruh. Mungkin hanya sepersekian detik dari sekejap mata, atau mungkin selama bertahun-tahun sejak munculnya peradaban manusia hingga saat ini.

Terserah yang mana pun. Aku menyadari satu hal.

Tempat kami berada sekarang ini, bukanlah dunia nyata, melainkan dunia celah.

Dunia yang diciptakan oleh Kitamura Tƍru.

Di sisi lain, aku bisa menciptakan duniaku sendiri dalam mimpiku. Aku kini bisa memimpikan apa pun yang kuinginkan di duniaku sendiri dan menikmatinya, begitulah awal mula semuanya dimulai.

Ini berarti.

Mungkinkah keduanya itu hal yang sama?


Yumiri pernah berkata. Ketika dia memasuki dunia mimpiku, dia harus berpakaian seperti dokter wabah, itu adalah pakaian pelindung untuk melindunginya.

Sekarang di tempat ini, Yumiri bercosplay dengan mantel putih berrok mini. Kupikir itu hanya hobinya, tapi dia tidak akan asal pilih penampilan dalam pertempuran di mana hidup dan mati dipertaruhkan. Dia juga bilang, ini adalah pakaian tempur. Tapi bukankah itu juga berarti, sebaliknya, bahwa ini adalah tempat di mana dia tidak memerlukan pakaian pelindung?


Dalam kesadaraanku yang kabur, aku merasakan sesuatu di dalam diriku perlahan-lahan, namun dengan cepat menggembung, dan akan meledak. Seakan-akan ada sejenis jamur yang mengumpulkan sejumlah besar spora, yang akan meledak dan tersebar sekaligus.

Banyak hal yang terhubung di dalam pikiranku.

Aku masih linglung, tapi sinapsisku bekerja dengan kapasitas penuh.

Inilah, yang disebut sebagai pencerahan, bukan?


——Tepat pada saat aku menyadari hal itu.

Kitamura Tƍru terhempas dengan suara raungan.

Kitamura Tƍru itu, yang mengubah dirinya menjadi monster yang cantik dan aneh, yang membuat Amagami Yumiri kesulitan dan menimbulkan luka fatal pada dirinya, terhampas dengan mudah.

Yang menghempaskannya adalah aku.

Lenganku dipenuhi sisik. Jari-jariku memiliki cakar yang tajam.

Penyusutannya tidak beres. Kitamura Tƍru yang seharusnya berubah menjadi monster raksasa, terlihat jauh lebih kecil. Akhir dari dunia celah yang tak berujung dan monoton bisa kulihat dengan jelas. Aku merasa seakan-akan aku sedang berdiri di puncak Sky Tree atau Gunung Fuji.

Entah itu seekor naga yang ganas atau demon yang kejam, aku bisa mengubah diriku menjadi apa pun yang kuinginkan. Yang mengatakannya tidak lain adalah aku sendiri.

Dorongan kemahakuasaan atau serba bisa yang kurasakan dalam pencerahan yang kabur.

Kesenangan dan kemarahan serta frustrasi dalam jumlah yang sama adalah semua yang kumiliki.

Keinginan yang tak tertahankan untuk menghapus dunia ini tanpa sisa memenuhi setiap inci keberadaanku.

“Aah.”

Aku mendengar suara dari suatu tempat.

“Kau sudah menyadarinya ya, Jirƍ-kun.”


Setelah itu kesadaranku terputus.

Related Posts

Related Posts

Post a Comment