-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 8 Bab 4 Part 1 Indonesia

Bab 4
Perjalanan Sekolah Hari Ke-3


1


Makan malam hari ketiga. Selama dua hari sampai sehari sebelumnya, sarapan dan makan malam adalah set makanan Jepang dan masakan kaiseki, tapi mulai malam ini sampai sarapan pagi lusa, ketika kami pulang, itu diubah menjadi prasmanan makan sepuasnya. Tentu saja, ini adalah pertama kalinya dalam hidupku untuk makan sepuasnya.

(Tln: kaiseki = makanan tradisional Jepang)

Untuk makan, sama seperti kemarin, tidak terikat oleh aktivitas grup, jadi para siswa bebas makan di meja mana pun yang kosong. Sudah banyak siswa yang mondar-mandir membawa nampan di berbagai tempat. Kei pacarku juga beraktivitas dengan banyak gadis hari ini, dan bahkan dari jauh aku bisa mendengar tawanya sesekali.

Karena diizinkan untuk sendirian, tanpa ragu aku mempelajari aturannya dengan melihat para siswa lain.

Langkahnya adalah mengambil satu nampan yang ditumpuk, dengan bebas memilih peralatan makan yang berbeda yang ditempatkan di samping setiap hidangan di atas nampan, dan ambil hidangan secara bergantian mengikuti rute yang telah ditentukan.

Pertama, kuletakkan mangkuk salad di atasnya, dan kemudian kuisi dengan selada, tomat, bawang bombay dan acar.

Tampaknya ada 5 pilihan dressing, jadi aku memilih onion dressing.

(Tln: dressing semacam saus untuk salad)

“...Ini menarik.”

Tidak seperti makanan di mana kami mendapatkan menu yang tetap, kami bisa membuat pilihan terperinci kami sendiri, jadi selera setiap individu sangat terlihat.

Tak pelak, jari-jariku terulur ke arah hidangan yang bergizi seimbang. Di sisi lain, para siswa sekitar benar-benar memiliki pola yang berbeda, ada yang mengambil jenis makanan yang sama seperti yang diambil anggota yang makan bersamanya, dan ada yang menyiapkan berbagai jenis makanan sekaligus dalam jumlah kecil.

Aku selanjutnya mengantri di barisan lauk pauk, dan para siswa sudah mulai berkumpul dalam antrian di belakangku.

Kupikir mungkin belum banyak siswa karena aku makan malam sedikit lebih awal, tapi malah sebaliknya.

Tampaknya lebih banyak siswa yang mengincar saat restoran di buka.

Meskipun makanan Jepang adalah hidangan utama, ada juga steak, shumai dan sup jagung.

(Tln: Shumai adalah jenis pangsit tradisional Tiongkok)

“Yo, Ayanokōji. Kamu mau makan sendirian ya?”

Ketika aku sedang mencari tempat duduk setelah mengambil semua yang ingin kumakan, aku dipanggil oleh Ishizaki yang bertangan kosong.

“Niatku begitu.”

“Kalau begitu, makanlah bersamaku. Nishino juga sudah kuajak karena dia sendirian. Makan sendirian itu pasti kesepian, bukan?”

“Enggak... Yah, okelah.”

Karena tidak ada alasan khusus untuk menolaknya, kurasa lebih baik aku menerima kebaikan Ishizaki.

Ketika aku mengikuti Ishizaki saat dia mengantarku ke tempat duduk, Nishino mengangkat tangannya dengan ringan.

Selain itu, Albert juga ada di sana dan aku merasa mata kami bertemu melalui kacamata hitamnya.

Aku duduk di sebelah nampan yang berisi banyak makanan di atasnya yang kupikir milik Ishizaki.

“Nah, masih ada yang mau aku ambil. Jadi silakan makan dulu.”

Jadi dia tidak membawa apa-apa saat memanggilku itu karena dia mau mengambil sesuatu.

Sambil bersenandung, Ishizaki kembali ke tempat makanan berada lagi.

“Jadi kamu juga diundang oleh si pengacau Ishizaki.”

“Sudah kutolak, tapi dia tetap bersikeras.”

“Dia itu tipe orang yang tidak bisa meninggalkan temannya sendirian.”

“Masak sih. Padahal dia itu cukup suram pas awal masuk sekolah, dan jauh lebih sensitif.”

Memang benar citranya jauh lebih cerah akhir-akhir ini, tapi itu mungkin tidak sama seperti pas awal masuk sekolah.

Sejujurnya aku tidak memiliki banyak kesan, karena aku jarang berinteraksi dengannya.

“Kelihatannya dia tidak menyukai Ryūen awalnya, jadi mungkin dia sedikit memberontak.”

Sepertinya dia tidak tahu itu karena Ishizaki ditekan, tapi mungkin itulah Ishizaki yang asli.

Yang memiliki kesan selalu sama mungkin adalah Albert, yang sedang makan dalam keheningan.

Dia menggunakan sumpit dengan cekatan dengan tangannya yang besar.

“Mantab! Aku bawa kepiting nih! Kepiting di mana-mana!”

Ketika Ishizaki kembali, sebuah piring diletakkan di atas nampan, dan di atasnya hanya ada banyak sekali kepiting.

Segera setelah dia meletakkannya di atas meja, kaki kepiting jatuh di atas nampan.

“...Banyak sekali yang kau bawa.”

“Hokkaidō itu terkenal dengan kepiting. Aku selalu ingin makan ini semua, jadi aku buru-buru mengambilnya.”

“Kau ini benar-benar tidak sopan, ya.”

Memang, di antara menu yang bermacam-macam, kepiting menarik minat banyak siswa.

Aku tidak ingin berada di antara kerumunan itu, jadi aku menyerah untuk coba mengambilnya pada antrian pertama.

“Apanya yang tidak sopan? Di sini itu Viking, Viking! Kita bisa semua yang kita inginkan!”

Ishizaki berpendapat bahwa rugi jika dia tidak mengambilnya.

“Pertama-tama, istilah Viking itu sangat norak, jadi bisa tidak kamu berhenti mengatakannya?”

“Ha? Apa lagi sebutannya kalau bukan Viking?”

“Prasmanan, ini prasmanan.”

“Prasmanan? Yah, bukannya malah itu yang norak? Apaan sih itu?”

Perbedaan dalam cara mereka menyebutnya, yah, untuk lebih spesifiknya, aturannya mungkin berbeda, tapi bukan itu yang dipikirkan Nishino, melainkan kepiting yang ada di atas piringnya.

“...Tidak usah diperumit. Karena aku senang sekali dengan Viking ini.”

“...Coba kamu pikirkan orang lain? Kepiting adalah salah satu hidangan utama.”

“Hah? Jika aku memikirkan orang lain, nanti mereka akan mengambilnya. Selain itu, ini makan sepuasnya, jadi aku yakin mereka punya banyak stok.”

Yah, dia ada benarnya.

Ishizaki berbalik dan menunjuk ke tempat para koki sibuk mengisi kepiting rebus.

Yang terburuk, jika dia benar sanggup memakannya, mereka tidak punya hak untuk menghentikannya.

“Ah enggak deh.”

Katanya, lalu Nishino mengalihkan pandangannya dari Ishizaki untuk menyendok puding telur gurih dan memasukannya ke dalam mulutnya.

Albert yang makan dengan tenang di sebelahnya....

Menu hidangan yang dipilihnya adalah terong yang direndam, bayam dengan pasta wijen, berbagai sashimi, sup miso dan nasi. Terlihat jelas kalau itu semua adalah makanan khas Jepang.

“Jadi kamu suka makanan Jepang ya.”

Tanyaku begitu, lalu Alberto meletakkan sumpitnya dengan hati-hati dan mengacungkan jempol dalam diam.

Lalu dia segera kembali makan. Cara makannya sangat sopan, lebih dari Ishizaki yang makan dengan rakus.

“Oh Ayanokōji. Kamu satu grup dengan Ryūen-san, apakah berjalan lancar?”

“Aku tidak melakukan hal yang istimewa. Berkat dukungan yang baik dari anggota grup lainnya, jadi kami cukup terorganisir dengan baik.”

“Kau bicara seperti kamu tidak tahu ada perkelahian di area ski.”

Sebagai salah satu pihak yang terlibat, Nishino terlihat muak karena mengingat kejadian itu.

“Kudengar kalian punya masalah dengan seseorang dari sekolah lain. Sial, coba saja aku ada di sana!”

“Bakal jauh lebih rumit jika kamu juga ada di sana. Kenapa sih pria itu selalu emosian?”

Meski dia bilang begitu, Nishino juga terlihat cukup berani.

Dia tidak takut untuk membalas ucapan mereka, seolah-olah dia adalah perisai untuk Yamamura yang sedang diganggu.

“Kau juga wanita yang emosian, bukan?”

Ishizaki terkikik saat ia mengunyah kepiting.

“Jangan menyebutku begitu. Dan jangan buat sisa makanannya beterbangan, kotor tahu.”

“Kau juga enggak nyusahin Ryūen-san, bukan? Kau harus turuti perintahnya, oke?”

“Terserah kamu mau mengira apa, tapi kenapa aku harus ikutan mematuhinya?”

Dia dan Ishizaki saling bersahut sahutan meskipun terdengar seperti pertengkaran.

Aku bertanya-tanya apakah ini yang disebut dengan teman sekelas yang saling mengenal satu sama lain.

Namun, aku sering melihat Nishino dalam grup, dan meskipun dia tidak terlalu banyak bicara, dia tampaknya bukan pembuat masalah, dan dia memiliki sisi baik hati, seperti kepeduliannya pada Yamamura.

“Sudah lama aku bertanya-tanya, apa Nishino tidak takut pada Ryūen?”

“Itu, yah waktu dia serius, rasanya seram juga sih. Kakak bodohku juga seorang berandalan, jadi mungkin aku sedikit lebih toleran.”

Jadi ada tipe orang yang mirip dikeluarganya.

Itu akan menjelaskan kenapa dia berani berdebat selama pertengkaran itu.

“Padahal sudah jelas jika kita tidak sekolah dengan benar, kita sendiri yang akan kesulitan. Kakakku putus sekolah karena kebodohannya dan tidak bisa mendapat pekerjaan yang baik, jadi hidupnya sangat sulit.”

Katanya sambil menghela napas berat berulang kali, mungkin karena dia tidak suka mengingatnya.

“Apa yang terjadi padanya?”

“Untuk saat ini, sebuah perusahaan konstruksi lokal merekrutnya dan dia bekerja keras setiap hari di lokasi sana. Tapi gaji bulanannya rendah.”

Karena dia melihat kenyataan dari dekat, dia hanya bisa menghela napas ketika memikirkan masa depan Ryūen dan Ishizaki.

Kau akan mengalami kesulitan di kemudian hari jika sekarang berbuat semaunya. Itu seperti akal sehat yang umum di masyarakat, terlepas dari apakah kau seorang berandalan atau bukan.

Kecuali dalam industri hiburan dan kreatif, di mana bakat itu penting, dan dalam olahraga, di mana kemampuan fisik itu penting, semakin tinggi tingkat pendidikan dasar semakin baik.

Semakin kau bekerja keras dalam studimu, semakin besar kemungkinan kamu memulai dari posisi yang lebih mudah di kemudian hari.

“Kau ternyata cukup pintar untuk seseorang yang terlihat seperti itu.”

“Tidak perlu menyinggung penampilanku. Selain itu, aku hanya terlihat pintar dari sudut pandangmu, bukan?”

“Wahaha! Iya kali!”

Dari sudut pandang Ishizaki, hampir semua siswa adalah siswa teladan.

Saat aku meninggalkan tempat setelah makan, aku melihat seorang pria, Katsuragi.

Dia tidak makan dengan siapa pun, hanya sendirian di meja sudut, diam-diam membawa makanan ke dalam mulutnya.

Aku penasaran dengan keadaannya, jadi aku sedikit mengamatinya, dan dari sana aku melihat pemandangan yang aneh.

Ketika Oda dari kelas Ryūen menemukan Katsuragi dan hendak pergi untuk bicara dengannya, Matoba dari kelas A bicara terang-terangan untuk menghentikannya, dan setelah ia mengatakan sesuatu, Oda pergi ke siswa lain, sambil tetap memperhatikan Katsuragi. Seolah-olah ia menghalanginya melakukan kontak dengan Katsuragi. Itu tidak hanya terjadi sekali, tapi 2 dan 3 kali.

Matoba adalah anggota grup 2 yang sama dengan Katsuragi. Normalnya tidak aneh jika ia duduk satu meja dengan Katsuragi, tapi ia melakukan yang sebaliknya.

Di kelas A sepertinya ada yang melakukan sesuatu yang cukup berbahaya.

Aku bisa saja mengabaikannya, tapi aku akan coba dekati Katsuragi dulu.

Ketika kulakukan itu, Matoba yang merasakan aku mendekat, dengan cepat mendekatiku.

“Aku sedang mengadakan acara grup kecil dengan Katsuragi. Bisa kamu tinggalkan kami sendiri?”

Begitu ya. Jika dia mengatakan itu adalah masalah grup 2 mereka, bahkan teman sekelasnya pun pasti akan mundur.

Itulah sebabnya Oda langsung paham dan pergi.

Apakah ini kesepatakan dari kelas A atau apakah ini tindakan egois Matoba?

Dan apakah ada niat di balik ini untuk mengalahkan kelas Ryūen atau tidak?

Apa pun itu, di mata pihak ketiga, tindakan ini hanya bisa dilihat sebagai salah satu bentuk penindasan yang berbahaya.

Seorang pengunjung baru datang menemui Matoba yang memberiku peringatan seperti itu.

Matoba memutar tubuhnya untuk menghentikannya juga, tapi niatnya langsung hilang.

“...”

Dia menelan ludah dan berbalik seolah-olah ia tidak pernah menghalangi siapa pun sejak awal.

“Yo, Katsuragi. Kau makan dengan raut wajah yang sangat lusuh.”

Pantas saja Matoba tidak berani bicara dengannya, karena pengunjung itu adalah Ryūen.

Begitu nama besar yang tidak terduga muncul, dia mendecakan lidah dan langsung kabur.

Tanpa melihat Matoba yang kabur itu, dia duduk di kursi di depan Katsuragi.

“Aku sedang makan. Kau ada perlu apa?”

“Aku hanya ingin melihat lebih dekat wajahmu yang menyedihkan.”

“Aku tidak paham maksudmu.”

“Kukuh. Seperti itulah rasanya mengkhianati kelas. Sudah terlambat untuk menyesalinya, Katsuragi.”

“Aku tidak menyesal. Pemimpin yang tak terkendali bisa sangat merepotkan, tapi aku siap mati dengan kelasku saat ini.”

Mungkin untuk menyembunyikan rasa malunya, itu agak dibuat-buat, tapi ternyata dia sangat menyadari statusnya sebagai anggota kelas Ryūen.

“Begitu ya.”

Ryūen menarik kursi dan duduk di sana, menggeser gelas kosong di depanku.

“Ambilkan aku air, Ayanokōji.”

“...Aku?”

“Karena aku tidak perlu takut sedikit pun padamu saat kita berhadapan di depan umum. Ini membuatnya mudah bagiku.”

“Sejak grup kita terbentuk, aku sudah mengira kamu akan suka menyuruhku, tapi... ya ampun.”

“Sudahlah, biar aku yang ambil.”

Katsuragi yang tidak bisa melihatnya, menawarkan diri untuk menggantikanku, tapi aku menghentikannya dengan lembut.

“Kebetulan aku juga sedang haus.”

Selain itu, aku bisa lihat sekilas kepedulian Ryūen pada Katsuragi yang sedang makan sendirian.

Jadi kuterima saja kali ini dengan lapang dada.

(Tln: Bilang aja lu cuman pengen ngerasaiin jadi kacung kan?)

Related Posts

Related Posts

2 comments