Bab 5
Festival Olahraga Kedua
4
Jam 3 sore. Dengan kurang dari satu jam tersisa, festival olahraga akhirnya akan segera berakhir.
Kami memasuki fase akhir kompetisi masih di peringkat pertama. Selisih poin dengan kelas D tahun kedua yang menempati peringkat kedua hanya 17 poin. Aku harus berasumsi bahwa strategi Ryƫen-kun yang tak terlihat berhasil, karena mereka lebih gigih daripada yang ku bayangkan. Meski begitu, tidak ada masalah di antara kami siswa tahun kedua dan kami bekerja dengan baik sebagai aliansi.
Hanya saja, jika kami tidak mencetak lebih banyak poin dalam 1 jam berikutnya, ada kemungkinan besar kami bisa disalip....
Berdiri di sudut gimnasium, aku menatap kompetisi yang tersisa, aturan dan jadwalnya.
Tanpa berusaha menyembunyikan kekesalannya, di sana Ibuki-san mendekatiku dengan sangat dekat.
“Ayo bertarung, bertarung!”
“Kamu mengatakan sesuatu yang sangat lucu. Aku menang dengan 2 kemenangan dan 1 kekalahan, bukankah itu hasilnya?”
“Aku tidak berpartisipasi!”
“Mana kutahu. Kamu tidak datang pada waktu yang ditentukan itu kesalahanmu, bukan?”
“Uh...! A-Aku hanya salah waktu...”
Benar. Putaran ketiga dari pertarungan penentuan kami pada kompetisi balok keseimbangan, yang ditutup entrinya pada pukul 13:20.
Ibuki-san tidak dapat berpartisipasi dalam kompetisi karena dia tidak berhasil masuk tepat waktu.
Tentu saja, aku tak melewatkannya, dan meskipun aku tidak merain tempat pertama, aku meraih tempat kedua dan mendapatkan 3 poin.
“Aku tahu kamu tidak puas, tapi orang-orang biasa menyebut itu dengan menang w.o.”
“Satu kemenangan, satu kekalahan! Pertarunganmu denganku belum selesai!”
Dia terus rewel di telingaku, dan dia sepertinya tidak berniat mundur.
“Aku sudah mengikuti total 9 perlombaan. Tersisa 1 perlombaan bebas lagi...”
“Itu, itu dia! Katakan padaku apa yang kamu ikuti.”
“Kalau kamu ingin meminta pertarungan penentuan padaku, kamu harus menunjukkan sikap yang benar.”
“Ugh...!”
“Kamu mau bertarung atau tidak?”
“To-Tolong... bertarunglah, dengan... ku...!!”
Ibuki-san memintaku, gemetar karena marah seolah dia akan menyemburkan api dari mulutnya.
“Apa kau sudah puas!?”
“Yah. Itu membuatku merasa sedikit lebih baik.”
Situasi berubah dari waktu ke waktu dan slot kompetisi sudah terisi.
Haruskah aku mengikuti rencana awal atau mengincar skor yang lebih tinggi?
“Nah, buruan jawab apa yang akan kamu ikuti?”
“Bisa tolong diam sebentar?”
“Gak bisa!”
Dia langsung menjawab, berulang kali menekuk jari-jarinya untuk memprovokasi.
Aku tak ingin menghadapinya, tapi mengabaikannya hanya akan membuatnya lebih berisik.
“Rencananya, aku mau gabung dengan shuttle run setelah ini.”
“Shuttle run itu, yang bolak-balik tanpa henti sampai jatuh?”
“Yak tul. Itu juga disebut lari ketahanan bolak-balik.”
“Aku ingat mungkin pernah melakukan itu di SMP. Okelah, ini sangat cocok untuk pertarungan terakhir.”
Dia mengangguk puas dan hendak lari untuk masuk.
“Kau sedang apa?”
“Kalau mau ikut, silakan.”
“Lah, kamu juga ikut, ‘kan? Tidak ada gunanya jika kita tidak di kelompok yang sama.”
“Aku baru mau ikut. Aku belum memutuskan.”
“Haa?”
“Sejujurnya, sekarang kompetisi terakhir yang ingin aku ikuti adalah bola voli.”
“Bola voli? Bola voli itu pesertanya 6, ‘kan? Dari kelihatannya, sepertinya kamu baru niat, tidak mungkin kau bisa mengumpulkannya sekarang.”
Salah satu kompetisi yang diumumkan pada hari H, kompetisi yang terbagi atas putra dan putri untuk semua tahun ajaran. Kelas kami sudah memutuskan untuk mengabaikannya karena kebutuhan 6 orang kompeten adalah hambatan, tapi kelas lain mungkin memikirkan hal yang sama karena tim yang berpartisipasi dalam bola voli saat ini tampaknya lebih lemah dari yang ku duga.
“Dengan 10 menit tersisa untuk masuk, ada 3 tim kosong. Tim-tim yang berpartisipasi, dari yang ku lihat, tampaknya tidak banyak lawan yang kuat. Jika aku bisa menang, ini kompetisi yang layak untuk membuang shuttle run. Dalam kompetisi tim di mana kita harus berimprovisasi, banyak hal tergantung pada kemampuan siswa berprestasi. Andai saja ada 1 atau 2 siswa lagi yang percaya diri dengan kemampuannya ikut, aku akan bisa melihat peluang menang.”
“Jadi bagaimana dengan permintaanku yang putus asa tadi?”
“Sayangnya kamu harus menyerah.”
Ibuki-san tercengang. Kupikir dia akan marah lagi, tapi dia malah menjadi putus asa dan pasrah.
Lagipula, itu karena dia sendiri salah mengira waktu penerimaannya.
“...Oh gitu. Jadi pertarungan kita sampai di sini saja, ya...”
“Kamu tidak ikut main bola voli?”
“Butuh 5 orang untuk melawanmu. Tidak mungkin aku bisa mengumpulkannya. Pas deh. “
“Kamu tidak punya teman sih, ya.”
“Kau juga sama saja, bukan?”
“Aku yakin setidaknya ada beberapa teman sekelas yang bersedia membantuku asal aku panggil mereka.”
“Aku ragu. Aku ingin menyelesaikan pertarungan kita, tapi aku akan menyimpannya untuk lain waktu.”
Sebagai catatan, aku yang menang, tapi... terserah.
“Kamu tidak ikut kompetisi shuttle run?”
“Aku hanya tertarik untuk menyelesaikan pertarungan kita. Aku tak akan repot-repot berkontribusi pada RyĆ«en.”
“Itu memudahkanku. Semakin sedikit poin yang kau dapat, semakin dekat kelas kami untuk menang.”
Mungkin lebih baik membiarkannya pergi tanpa perlu memprovokasinya.
Kupikir begitu, tapi untuk beberapa alasan, Ibuki-san tidak mau meninggalkan tempat ini.
“Kenapa lagi?”
“Jika tidak ada cukup orang untuk bola voli, apakah kau akan ikut shuttle run?”
Batas waktu untuk bola voli adalah pukul 14:20. Batas waktu shuttle run adalah pukul 14:25.
Ibuki-san memperhatikan bagian yang tidak berani kusebutkan.
“Sepertinya aku tidak perlu memberitahumu. Aku tidak menyangka kepalamu bisa dipake.”
“Berisik. Jadi aku akan tetap bersamamu lebih lama lagi.”
Skenario terburuk, jika jumlah orang untuk bola voli tidak mencukupi, aku akan menyelesaikan pertarungan ku dengan Ibuki-san dalam shuttle run.
Yah, itu mungkin tidak terlalu buruk juga.
Aku melihat gadis-gadis di kelas yang ada di bagian bersorak dan melihat apakah ada seseorang yang bisa ku gunakan. Namun, tidak mungkin siswa yang cocok seperti itu bisa cepat ditemukan, dan waktu terus berlalu.
Aku perhatikan Ibuki-san, yang ada di sampingku, sedang menguap.
Menyerah saja dan ayo kita bertarung shuttle run. Dia menatapku dengan mata seperti itu.
“Aree~? Bukankah itu Horikita-senpai sama Ibuki-senpai? Kerja baguus.”
Sambil menunggu anggota yang bisa aku undang, siswa tahun pertama Amasawa-san memanggilku.
Pada saat itu, Ibuki-san, yang sedang duduk, berdiri dan memelototinya.
“Ah, serem. Wajahmu terlihat agak menakutkan... apa mungkin lagi dapet?”
Amasawa-san mengejeknya. Tapi setengah dari kata-kata itu sepertinya tidak sampai ke Ibuki-san.
“Kalau masih ada slot yang tersedia bagimu untuk berpartisipasi, bagaimana kalau kita bertarung?”
“Jika dipikir-pikir, kita belum pernah ketemu ya hari ini. Karena beda tahun ajaran, tidak banyak kesempatan untuk kita bersaing. Bukankah lebih baik kamu urungkan niatmu untuk bertarung denganku? Nanti kalah loh?”
“Jangan meremehkanku. Bersyukurlah kau belum pernah ketemu denganku.”
“Seperti biasa, kamu masih sok kuat, ya. Ngomong-ngomong, kalian berdua sedang apa di sini? Kalau tidak ikut kompetisi, bukannya kalian harus bersorak?”
“Ikutlah shuttle run juga, Amasawa. Kemudian kita bisa bertarung.”
“Ah, kalian para senpai mau ikut shuttle run? Kalau aku———”
“Akhirnya ketemu juga.”
Saat kami sedang berbicara, Kushida-san muncul. Aku bertanya-tanya apakah dia ada perlu denganku, tapi Kushida-san menatap Amasawa-san tanpa melihatku.
“Kupikir ada yang mengejarku, ternyata Kushida-senpai, toh. Ada apa? Kalau kamu tidak keberatan ada Horikita-senpai dan Ibuki-senpai, aku mau kok dengerin.”
“Horikita———san? ...Ternyata di sini.”
Sepertinya dia sangat fokus pada Amasawa-san hingga dia tidak menyadari kehadiran kami.
“Ah, maaf, Kushida-senpai. Sepertinya teman-temanku sudah pada kumpul, aku harus segera pergi.”
Dari arah yang dia tunjuk, ada Nanase-san, siswa tahun pertama lainnya, dan 4 gadis yang tidak kukenal.
“Aku datang ke gimnasium untuk ikut bola voli. Ini pengalaman pertamaku main bola voli loh~”
Rupanya, Amasawa-san berencana untuk ikut bola voli.
Itu berarti tahun pertama juga bergerak setelah melihat situasi tim yang berpartisipasi tidak mencukupi.
“Sampai ketemu lagi. Semoga berhasil untuk shuttle run-nya~”
Setelah datang tanpa diminta dan bicara sepuasnya, Amasawa-san bergabung dengan grupnya.
“Jadi dia ikut bola voli.”
Kata Ibuki-san memelototi punggungnya.
“Kelihatannya begitu.”
“Kalau begitu aku juga ikut. Lagi pula, kamu tidak bisa mengumpulkan 5 anggota, bukan?”
“Eh?”
“Aku bilang aku juga ikut. Aku tidak suka bekerja sama denganmu, tapi ini adalah kesempatanku untuk mengalahkan siswa tahun pertama sombong sialan itu.”
Kalau Ibuki-san mau bekerja sama denganku, dia adalah kekuatan tempur yang mumpuni.
Tapi....
“Jangan memutuskan sendiri. Aku belum bilang aku akan memasukanmu ke dalam tim.”
“Haa? Kau bahkan belum mengumpulkan 1 siswa pun?”
“Kompetisi tim akan mendapatkan poin yang sama. Wajar jika aku ingin mengisi kekosongan dengan siswa dari kelasku sendiri daripada mengisinya dengan siswa dari kelas lain, bukan?”
Bahkan jika aku mencetak lebih banyak poin, Ibuki-san berada di kelas peringkat kedua.
Artinya selisih poin tidak akan terbuka sama sekali.
“Bodo amat sama itu. Aku sudah puas selama aku bisa melihat ekspresi kesal Amasawa.”
“Pokoknya, itu tergantung pada anggota lain. Rasio kelas ku harus lebih tinggi.”
“Kalau begitu, biarin aku ikut juga?”
Kushida-san, yang juga memperhatikan punggung Amasawa-san, mengucapkan ini tanpa mengubah pandangannya.
“Apa maksudmu, Kushida-san? Aku tidak percaya pada titik ini kamu sudah berubah pikiran dan bersedia untuk bekerja sama.”
Ketika aku terus terang mengungkapkan pikiranku, Kushida-san tidak menyangkalnya.
Tapi, matanya tertuju pada Amasawa-san, bukan padaku, dan itu membuatku penasaran.
“Aku punya hutang dengan siswa tahun pertama Amasawa-san itu.”
“Dengan Amasawa-san...?”
“Kau juga?”
“Aku tak akan memberitahukan alasannya, tapi aku akan dengan senang hati membantumu agar aku bisa membayar hutang itu.”
“Jika demikian, aku akan senang menerimamu. Kau adalah teman sekelas dan kekuatan tempur yang mumpuni.”
Musuh dari musuhku itu sering disebut. Sebagai sekutu yang masuk secara tidak terduga.
“Tapi dia pasti akan menjadi lawan yang tangguh.”
“Tentu saja.”
Ibuki-san sudah mulai melakukan pemanasan dan sangat antusias.
Amasawa-san melihatnya melakukan itu dari jauh dan tertawa dengan aneh.
Kehebatan Amasawa-san adalah sesuatu yang aku dan Ibuki-san alami secara langsung, tapi detail dari orang-orang lainnya tidak diketahui. Jika aku mengingat angka-angka di OAA saja, aku ingat kalau kemampuan fisik Nanase-san relatif tinggi, tapi aku tidak memiliki kesan untuk yang lainnya. Aku yakin aku bisa mengingat nama-nama siswa yang kemampuannya mendekati A, jadi tidak salah lagi kalau perkiraan tertinggi adalah kurang dari B, tapi....
Masalah yang lebih besar adalah kami masih kekurangan 3 orang.
Menganalisis lawan kami ketika kami bahkan tidak memenuhi persyaratan untuk berpartisipasi adalah hal yang sulit untuk dilakukan.
“Untuk syarat 3 orang sisanya? Kamu ingin menghindari kelas RyĆ«en, ‘kan?”
Kushida-san bertanya tentang pemilihan orang.
“Ya. Tentu saja aku ingin anggotanya hanya teman sekelas sebisa mungkin. Tapi kita harus mengutamakan pertandingan dan kekuatan tim kita.”
“Oke. Kalau begitu tunggu sebentar.”
Mengatakan itu, Kushida-san meninggalkan kami dan mulai berjalan pergi.
“Dia bilang oke, memangnya dia mau apa? Dia tidak akan mendapatkan bantuan semudah itu, ‘kan?”
Ketika aku dan Ibuki-san yang terlihat penasaran mengawasinya, dia pergi untuk berbicara dengan Rotsukaku-san dari kelas Sakayanagi-san. Dan setelah bicara sebentar, dia lanjut menemui Fukuyama-san yang satu kelas dengannya. Dan terakhir, dia pergi menemui siswa yang bersorak untuk kompetisi lain di gimnasium.
“Kalau tidak salah gadis itu, Himeno-san dari kelas Ichinose-san, ‘kan?”
Butuh beberapa puluh detik bagi mereka berempat, 2 dari Kelas A dan 1 dari Kelas C, untuk berbicara.
Kushida-san kembali ketempat kami bersama mereka bertiga.
“Mereka bilang mereka mau ikut kompetisi bola voli. Himeno-san tidak pandai main bola voli, tapi dia setuju untuk mendukung kita berlima. Kompetisinya serahkan saja kepada kami, dan kami akan mengurusnya.”
Kushida-san berbicara dengan Himeno-san dalam mode normal, tanpa pernah menghadap padaku.
Aku sangat terkejut melihat 2 siswa Kelas A dengan tulus mau membantu.
“Kami sudah diambang kekalahan, dan bahkan jika kami tidak menang, kami ingin kontribusi kami tercatat.”
Kan, untuk konfirmasi keduanya saling memandang dan mengangguk.
Mereka menginginkan prestasi karena mereka adalah Kelas A, yang berada di dasar klasemen.
Sambil memperkirakan mentalitas itu, Kushida-san langsung mengenali mereka sebagai siswa yang cakap.
Meskipun dia tidak mengingkat nilai spesifik mereka di OAA, sebagai teman Fukuyama-san dan Rotsukaku-san, dia sangat memahami kemampuan fisik gadis-gadis itu.
“Ini adalah trik yang tidak akan pernah bisa kamu lakukan, Ibuki-san.”
“Berisik. Kau sendiri juga tidak dapat menemukan siapa pun.”
“Ada 5 atau 6 anak di gimnasium yang masih bisa aku undang, tapi.... Kurasa ini anggota terbaik yang bisa kita buat sekarang.”
Bagaimanapun, sudah ada 6 anggota tim bola voli, yang tadinya diragukan bisa tampil.
Selisih jumlah anggota dengan kelas Ryƫen hanya satu orang. Namun, memenangkan kompetisi ini dan mendapatkan 10 poin jauh lebih bermanfaat daripada bersaing di shuttle run dan hanya mendapatkan 2 atau 3 poin. Keuntungan lain bagi kelas kami adalah bahkan jika tim ini kalah, selisih di antara kelas kami tidak akan mengecil.
Sebagai penyerang depan, aku dan Ibuki-san, lalu siswa lain yang dapat diandalkan, seperti Kushida-san, Rotsukaku-san, dan Fukuyama-san.
Meskipun ada sedikit minus jika ditambah Himeno-san, ini adalah kekuatan tempur yang cukup kuat untuk membuat perubahan.
Dapet? maksudnya pms kah?
ReplyDeleteyes
Delete