-->

Cari Blog Ini

– Karuizawa Kei SS – Di Balik Layar

Youzitsu 2nd Year Volume 7 SS

– Karuizawa Kei –
Di Balik Layar


Ini adalah cerita pendek lain yang tidak dimunculkan di festival budaya.


Tepat sepulang sekolah, ketika seluruh kelas sudah mendengar bahwa maid café telah dipilih sebagai kreasi kelas kami, Kei datang main ke kamarku.

“Sebenarnya tuh, ada kreasi yang ingin aku coba.”

“Benarkah? Seharusnya kamu mengusulkannya.”

Menurut kebijakan yang ditetapkan oleh Horikita, mereka yang ide kreasinya diterima akan diberi imbalan sesuai dengan penjualan mereka.

Jika Kei menginginkan poin pribadi, seharusnya itu bukan ide yang buruk untuk sekedar menyarankannya.

“Aku tahu, tapi~”

Meskipun ada sesuatu yang ingin dia coba, tak ada tanda-tanda dia akan langsung menjawab.

Aku menunggu dalam diam selama beberapa saat sambil bertanya-tanya kenapa dia tidak bisa menjawab.

“Itu memalukan.”

“Apa itu hal yang memalukan?”

“Ah, tidak, bukan seperti itu.”

Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi Kei buru-buru melambaikan tangannya untuk menyangkal.

“Kesannya, itu kekanak-kanakan.”

“Bukankah hal seperti itu wajar di festival budaya?”

Kebanyakan tidak jelas kreasi apa yang dimiliki oleh kelas lain, tapi untuk kelas A tahun ketiga adalah rumah hantu dan labirin.

Mengacu pada itu, seharusnya tidak ada masalah bahkan jika itu sedikit kekanak-kanakan.

“Meskipun tergantung pada anggaran, kemungkinan itu dipilih masih ada.”

Kelas akan terus mencari kreasi ideal beranggaran rendah dan berpotensi menghasilkan pendapatan.

“Uu~n.”

“Sekarang coba kamu kasih tahu aku dulu.”

Karena kami akan berduaan saja untuk waktu yang lama, tidak masalah berapa banyak topik yang kami bicarakan.

“Kiyotaka, kamu suka buku, ‘kan?”

Tiba-tiba, dia mengajukan pertanyaan yang rasanya tidak relevan.

“Hn? Ya, begitulah.”

Aku tidak pernah benci membaca.

Karena di saat kami tidak diizinkan untuk berbicara, kami diizinkan untuk membaca buku.

“Apa kamu suka dongeng?”

“Dongeng?”

Aku menyukai buku, tapi dia mengatkan hal yang tidak terduga.

“Aku pernah membacanya.”

“Ah, sudah kuduga Kiyotaka juga ngelewatin masa itu.”

Dia sedikit terkejut.

“Menurutmu aku ini apa?”

“Lah kan Kiyotaka, biasanya tidak tersenyum sama sekali. Rasanya kau tidak memiliki image sebagai orang yang membaca dongeng.”

“Itu sangat tidak sopan.”

“Dongeng apa yang sudah kamu baca?”

“Apa itu ada hubungannya dengan kreasinya?”

“Sudahlah jawab saja.”

Rupa-rupanya, dia lebih tertarik pada dongeng yang pernah aku baca daripada kreasinya.

“Biar kuingat...”

Aku teringat kembali ketika aku masih sangat kecil.

“Pertama, Ruang Kelas Terbang.”

“...Eh?”

“Kemudian aku juga membaca Taman Rahasia dan Pangeran Kebahagiaan.”

“...”

Kei yang ada di depanku terdiam.

“Ada apa?”

“Kok ada apa, eh?”

Lagi-lagi, keheningan aneh menyelingi.

“Eh?”

Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?

Semua itu seharusnya adalah dongeng.

“Yang kita bicarakan ini dongeng, ‘kan?”

“Ya, dongeng. Tapi juga disebut sastra anak-anak.”

Aku menjelaskannya lagi.

Aku tidak tahu kenapa Kei tampak bingung.

“Jawabanmu benar-benar berbeda dari apa yang aku bayangkan.”

“Apa yang kamu bayangkan?”

“Biasanya kan, Tiga Babi Kecil atau Si Tudung Merah Kecil.”

Jadi itu, aku memang pernah mendengarnya.

“Aku belum pernah membacanya.”

“Eeeeh?”

“Apa itu sesuatu yang begitu mengejutkan?”

Rasanya itu agak tidak sopan.

“Gimana bilangnya ya, um, ternyata Kiyotaka adalah Kiyotaka.”

“Kalau begitu, kembali ke topik. Apa hubungannya dongeng itu dan kreasi untuk festival budaya?”

“Jadi... aku ingin melakukan sebuah drama atau semacamnya.”

“Drama? Lah, itu bukan usulan yang buruk.”

“Benarkah?”

“Tentu saja, itu mungkin tidak realistis karena waktu persiapan sudah banyak berlalu, tapi terlepas apakah itu akan diterima atau tidak, itu bukan usulan yang buruk.”

Malahan, jika Kei sudah memiliki gambaran tentang drama itu sebagai kreasi untuk festival budaya, maka itu layak dipertimbangkan.

“Dongeng apa yang ingin kamu tampilkan?”

Aku juga agak tertarik.

“Yah, karena aku juga seorang gadis, ‘kan? Seperti Cinderella atau Si Cantik dan Si Buruk Rupa misalnya.”

Keduanya adalah dongeng yang sepertinya disukai para gadis.

“Tapi~”

Setelah mengatakan itu, dia terdiam sejenak.

“Drama yang paling ingin kucoba adalah Putri Tidur, kurasa.”

“Putri Tidur...”

Aku ingat judulnya, tapi sayangnya aku belum pernah membacanya.

“Ceritanya seperti apa itu?”

“E~? Itu pun kamu juga tidak tahu? Bisa-bisanya kamu menyebut dirimu seorang pecinta buku?”

“Ya maaf.”

Itu mungkin sedikit menyayat hatiku.

Aku mendengarkan penjelasan cerita dari Kei yang terbata-bata.

Kurang lebih aku mengerti.

Seorang anak perempuan yang lahir dari keluarga kerajaan tertidur panjang karena kutukan penyihir, dan akhirnya, seorang pangeran dari suatu tempat datang dan menciumnya.

Lalu dia pun terbangun dan mereka hidup bahagia selamanya...

Yah, itu terdengar seperti dongeng klasik.

“Aku tidak terlalu menyukainya saat aku masih kecil, tapi aku merasa, cerita itu mirip dengan hidupku. Hatiku telah lama tertidur, tapi Kiyotaka membangunkanku dari tidur itu...”

Katanya sambil terpesona sendiri oleh fantasinya.

“Aku akan menjadi sang putri, dan Kiyotaka menjadi pangerannya. Bukankah drama itu akan indah?”

“....Aku mengerti.”

Setelah mendengarnya aku mengerti.

“Tidak mengusulkannya itu adalah keputusan tepat. Jika kau memberitahu teman sekelas tentang pemilihan pemeran itu, mereka tak hanya akan mengolok-olok kita, tetapi juga akan melempar kita dengan batu.”

“A-Aku tahu kok. Makanya aku tidak mengungkitnya kan.”

Aku sangat lega dia bisa mengendalikan dirinya.

Sudut pandangnya mengenai drama itu bagus, tapi elemen di mana dia mementingkan diri sendiri itu terlalu berlebihan.

“Pangeranku tuh agak kejam, ya?”

Aku bingung kalau dibilang begitu.

“Jika aku tertidur lagi, maukah kamu membangunkanku dengan ciuman?”

“Apa kamu akan bangung dengan sekali cium?”

“Hn~? Entahlah. Mungkin butuh 10 kali cium, atau mungkin 100 kali.”

Mengatakan itu, lalu dia meminta ciuman dariku.

Setelah kuberi ciuman yang ia minta, Kei tersenyum tipis.

“Sudah kuduga, aku tidak butuh dongeng.”

“Kenapa tiba-tiba?”

“Karena buatku sekarang, kenyataan sudah cukup.”

Kei dengan riang menyandarkan tubuhnya padaku dan memejamkan matanya seolah-olah sedang tidur.

Related Posts

Related Posts

8 comments