-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 9 Bab 2 Part 3 Indonesia

Bab 2
Anggota OSIS Baru


3


Kami berdua tiba di sebuah kafe, tempat berkumpul untuk belajar kelompok sepulang sekolah.

“Semuanya, maaf membuat kalian menunggu.”

Kata Horikita dengan santai saat bergabung dengan teman-teman sekelasnya.

Aku sangat terkesan dengan kemajuan yang telah dicapai di sini tanpa kusadari.

“Ah, kamu juga datang toh, Kiyotaka!?”

Kei, yang sedang melihat buku catatannya dengan ekspresi kesulitan, melihatku dan tersenyum.

“Maaf, aku cuma ingin lihat-lihat sebentar.”

“Eeh?”

Kei menunjukkan ekspresi kekecewaannya dengan jelas, tapi tidak mengeluh lebih lanjut.

Mungkin karena aku sudah memberitahunya sehari sebelumnya kalau dia harus rajin ikut belajar kelompok dan kalau aku tidak akan membantunya dalam belajar.

“Uooh, maaf aku telat!”

Tak lama setelah kami sampai, Sudō muncul di kafe sambil terengah-engah.

“Dari kegiatan klub terus ke sini pasti melelahkan ya, Sudō-kun?”

“Biasanya sih. Aku sudah terbiasa.”

Tatapan Sudō sempat terpaku pada sosok Horikita, tapi kemudian ia duduk di kursi kosong di dekatnya.

Kemudian ia meletakkan tasnya di pangkuannya dan mengeluarkan seperangkat alat belajar.

Lalu ia mengambil kotak berbentuk persegi panjang dan mengeluarkan kacamata dari dalamnya.

“Eh? Sudō-kun pakai kacamata?”

“Aah, belakangan ini. Aku coba memakainya waktu belajar. Ah, tapi sebenarnya hampir tidak ada minus di kacamata ini.”

Biasanya orang yang memiliki penglihatan yang baik tidak memerlukan alat bantu seperti kacamata.

Namun, hanya karena punya penglihatan yang baik bukan berarti tidak boleh atau harus memakai kacamata. Tidak seperti kegiatan melihat dengan pandangan yang luas seperti bermain basket, belajar adalah pertempuran jarak dekat.

Karena menyesuaikan fokus saat melihat objek itu sangat membebani mata.

Banyak siswa, termasuk Kei, masih terkejut dengan Sudō dalam mode belajar itu, karena mereka mungkin jarang ikut belajar kelompok di mana banyak orang berkumpul.

“Kenapa sih pada ngelihatin?”

“Rasanya, dia jadi kelihatan berbeda hanya dengan memakai kacamata. Dan sekarang dia juga mulai belajar ya?”

Shinohara terkesan sambil mencolek pinggang Ike pacarnya yang duduk di sampingnya.

“A-Aku juga sedang belajar keras sekarang!”

“Aku tahu itu kok. Tapi, Sudō-kun semakin jauh dari kita ya.”

“Itu, kau tahu, yah, un...”

Ike mencoba membantah, tapi kata-kata pacarnya membuatnya merasa rendah diri.

“Ah maaf, maaf. Aku tidak bisa mengkritik orang lain juga sih. Tapi, apa kamu punya tips atau trik agar betah belajar tidak? Dulu kita levelnya sama kan, jadi aku ingin tahu buat referensi. Pasti susah banget kan, kalau mau main basket dan belajar sekalian?”

Tanya Shinohara, beberapa siswa pun mengangguk seolah setuju dengan pertanyaannya.

Benar, siswa seperti Yōsuke, Mī-chan, dan Horikita, bagi siswa yang memiliki kemampuan akademik rendah mungkin terlihat seperti bisa apa saja yang masuk dalam kategori cerdas atau jenius sejak awal.

Sekalipun mendengarkan tips dari para siswa pintar itu, mereka mungkin tidak akan bisa mempraktikannya.

Karena mereka dasarnya pintar, mereka tampaknya bisa melakukan apa saja.

Dalam hal ini, Sudō memiliki kemampuan akademik terendah di kelas pada awalnya.

Wajar jika dia ingin tahu apa yang membuat Sudō berkembang sejauh ini.

“Tips... ya.”

Gumam Sudō melipat tangannya agak kebingungan.

Horikita adalah alasan utama mengapa Sudō pada awalnya mulai belajar.

Motivasinya adalah ingin menjadi lebih pintar dan menjadi pria yang pantas untuk Hokita.

Tetapi, membicarakan hal itu di depan semua orang tentu membuat Sudō merasa canggung.

“Ah um... apa ya.”

Sudō kesulitan untuk bicara selama beberapa waktu, tapi ia sudah mulai tahu mau ngomong apa.

Ia pun mulai bicara sambil masih merasa canggung.

“Anehnya, aku mulai senang belajar. Dan karena itu, basket juga jadi lebih menyenangkan. ...Hmm, yah, begitulah kurang lebih?”

Dia mulai menjelaskan kenapa dia bisa melakukan keduanya dan hal-hal baik lainnya.

“Awalnya aku emang nggak suka belajar. Aku mudah ngantuk dan sering kesulitan menyelesaikan soal. Tapi, semakin aku menguasai pelajaran, semakin aku merasa kalau ini berguna di sekolah.”

“Tapi kan, Ken. Belajar itu nggak ada gunanya buat masa depan, bukan? Tergantung pekerjaanmu, bahkan mungkin nggak ada guna sama sekali.”

Tanya Ike pada Sudō, mengutarakan keraguan yang mungkin pernah dirasakan setiap orang.

“Aku juga dulu mikirnya belajar mengganggu banget buat jadi pemain basket profesional. Tapi, gimana kalau nggak jadi profesional? Kalau aku tidak bisa belajar, apa kerjaan yang bisa kulakukan? Mungkin hanya pekerjaan yang bisa dilakukan siapa saja, bukan?”

Tidak perlu menyebutkan nama pekerjaan tertentu, tapi pilihannya pasti lebih terbatas daripada orang biasa.

“Kalaupun gagal jadi pemain profesional, asalkan aku belajar, pilihan pekerjaanku bisa lebih banyak, kan? Aku bisa lanjut ke perguruan tinggi dan mendalami hal yang lebih spesifik lagi. Yah, aku belum tahu pasti juga sih sekarang pengennya apa.”

Tidak ada yang menyuruhmu untuk hanya memiliki satu mimpi saja.

“Belajar adalah investasi untuk diriku di masa depan. Aku mikirnya begitu.”

Meskipun jalan Sudō untuk menjadi pemain basket profesional yang telah ia kejar selama bertahun-tahun terhalang.

Asalkan ia memiliki satu mimpi besar lagi, ia tidak akan mengalami kegagalan dalam hidup.

Ini adalah sedikit cerita tentang pertumbuhan pola pikir Sudō melalui studinya.

Sesuatu yang dulu mungkin akan diketawakan, tapi kini semua orang di sekitarnya mendengarkan dengan serius tanpa mencemooh. Ini menunjukkan bahwa kata-katanya itu berbobot dan nyata. Sudō yang terlihat malu duduk kembali dan segera membuka buku catatannya.

“Su-Sudah, kan? Ayo kita mulai belajar sekarang.”

Kata Sudō tanpa menunjukkan sedikit tanda-tanda kelelahan seperti seorang yang baru pulang dari aktivtas klub lebih keras dari siapa pun. Meskipun dia bukan tipe orang yang pandai berpidato, kata-katanya yang jujur dan tindakannya justru bisa mengena di hati orang lain.

Itu adalah momen yang pasti sangat menggetarkan hati para siswa yang berada di posisi rendah, seperti Shinohara dan Ike.

Related Posts

Related Posts

Post a Comment