-->

Cari Blog Ini

You-Zitsu LN 2nd Year Vol 8 Bab 1 Part 4 Indonesia

Bab 1
Kenali musuhmu, kenali dirimu sendiri, dan kamu tidak akan takut pada seratus pertempuran


4


Antusiasme para siswa yang tidak sabar menunggu perjalanan sekolah tak kunjung surut bahkan sepulang sekolah.

Aku menerima serangkaian pesan dari satu orang ke orang lain.

Orang itu rupanya ingin bertemu denganku nanti di bangku dekat Keyaki Mall.

Pacarku Kei harusnya ada janji untuk main dengan Satō dan beberapa gadis lain di asrama hari ini.

Tentu saja aku bisa mengabaikan pesannya, atau menunda pertemuan, tapi ini waktu yang pas untukku.

Aku juga ingin tahu keadaannya, jadi lebih baik aku temui saja dia.

Setelah kubalas, aku akan segera kesana, aku pun menuju ke tempat yang telah dijanjikan.

Aku tiba 10 menit lebih awal dari yang direncanakan, jadi aku duduk di bangku dan menunggu.

Mengingat ini tepat sepulang sekolah, para siswa melewati bangku-bangku tersebut dalam perjalanan ke Keyaki Mall.

Tapi yang bikin penasaran adalah, kenapa memilih tempat pertemuan di tempat yang semencolok ini.

Bukan tidak mungkin dia takut aku akan waspada dan memilih untuk tidak menemuinya, tapi itu bukan karakter dia.

Bahkan ia sampai repot-repot menghubungiku dulu sebelumnya juga tidak sejalan dengan tindakan dia yang biasanya.

Apakah hanya karena masalah mental atau adakah kekuatan lain yang berperan?

Untuk beberapa saat setelah itu, aku melihat kerumunan siswa yang menuju ke Keyaki Mall....

Waktu yang dijanjikan sudah semakin dekat, tapi orang itu masih belum juga datang.

Mungkin ada sedikit keterlambatan, jadi aku tidak memperdulikannya dan dan terus menjelajah internet.

“Yahho~”

Ketika aku sedang menghabiskan waktu dengan mengakses internet di ponselku, aku mendengar suara seorang gadis memanggilku dari kejauhan. Ketika aku mendongak, aku melihat orang yang mengirimiku pesan, Amasawa Ichika.

Nanase yang seharusnya dari di kelas lain, juga datang bersama Amasawa.

Berbeda dengan Amasawa yang tersenyum, Nanase terlihat sedikit terkejut.

Dia mendekat sambil melambaikan tangannya, dan berhenti beberapa puluh sentimeter di depanku.

“Maaf menunggu~”

“Jadi kamu datang sama Nanase.”

Aku tidak bisa mengabaikannya karena dia ada di depan mataku, jadi aku menyebutkannya biar tidak aneh.

“Ya. Maaf aku datang bareng dia tanpa bilang dulu.”

“Enggak apa-apa, kamu tidak perlu meminta maaf. Aku hanya sedikit terkejut.”

Itu karena panggilan hari ini, tadinya kukira adalah diskusi empat mata dengan Amasawa.

Pertanyaan itu segera dijawab oleh Amasawa.

“Aku datang terlambat itu karena Nanase-chan tidak membiarkanku pergi~”

Katanya, menunjuk Nanase untuk menyalahkannya.

“Bahkan dia maksa pengen ikut. Mungkin dia pengen banget ketemu Ayanokōji-senpai?”

“Eh, benarkah?”

“Ah, tidak———!”

Nanase sedikit panik, tapi dia segera mengoreksi perkataan Amasawa.

“Aku penasaran dengan tindakan Amasawa-san jadi aku mengikutinya, tapi aku tidak tahu kalau dia akan bertemu dengan Ayanokōji-senpai di sini.”

“Eeh~? Aku gak bilang ya? Udah kubilangin deh keknya~”

“Tepat saat mataku bertemu mata Ayanokōji-senpai, ‘kan?”

“Ahahaha, iya kali.”

Jadi itu sebabnya dia tampak panik saat mata kami bertemu.

Aku selesai mendengar penjelasan dari dua siswi tahun pertama itu.

Tapi karena Nanase tidak langsung pergi, dia pasti punya alasan tersendiri untuk tetap di sini.

Sementara ini aku akan kesampingkan Nanase dan mengalihkan perhatianku ke Amasawa.

“Kudengar kamu sempat tidak berangkat sekolah?”

“Kok bisa tahu sih. Pasti kamu penasaran dengan keadaanku dan mencari tahu, ‘kan? Kalau itu Ayanokōji-senpai yang menguntitku, aku malah senang kok.”

Amasawa tidak terlihat di sekolah sejak berakhirnya festival budaya dan hari libur.

Tidak mungkin karena dia sakit.

“Karena aku yang memberitahu Ayanokōji-senpai.”

“Jadi, yang menguntitku itu Nanase-chan!”

Reaksi berlebihan yang jelas disengaja, Amasawa mengangkat kedua tangannya.

“Anak perempuan, ya. Yah, ini eranya keragaman, ‘kan? Nanase-chan juga imut, ‘kan? Boleh juga.”

“Tolong jangan salah menyimpulkannya sendiri.”

Kata Nanase dengan tenang pada Amasawa yang sangat bersemangat.

“Itulah tepatnya mengapa aku mendekati Amasawa-san hari ini. Sejak Yagami-kun dikeluarkan, dia tidak berangkat sekolah. Jelas itu bukan karena kondisi fisik, tapi kondisi mentalnya, jadi wajar jika aku curiga ketika dia tiba-tiba pulih.”

Mengawasi pergerakan seorang siswa White Room yang tiba-tiba kembali masuk sekolah, apakah itu wajar?

Yagami Takuya. Aku terlibat dengannya beberapa kali, tapi tidak salah lagi kalau siswa yang dikeluarkan itu berasal dari White Room, sama seperti Amasawa.

Sebagai sesama teman, tidak sulit membayangkan bila Amasawa memiliki perasaan yang kuat.

“Setelah tahu dia akan bertemu Ayanokouji-senpai, aku tidak bisa pulang begitu saja.”

“Kamu jadi seperti Ksatria yang melindungi Senpai ya.”

“Aku tidak sehebat itu, tapi aku menilai, mengingat kondisi mental Amasawa-san saat ini, tidak ada yang tahu apa yang mungkin kamu lakukan.”

Ini mungkin hanya kebetulan, tapi kurasa Nanase memiliki spekulasinya sendiri.

Sulit membayangkan Amasawa datang ke sekolah hanya untuk mengikuti pelajaran setelah meliburkan diri.

“Kurang lebih seperti itu~”

Amasawa bertingkah ceria dari tadi, tapi aku masih tidak bisa merasakan semangat yang biasa dia miliki.

“Dia agak ganggu sih, tapi yah, kupikir tidak apa-apa.”

“Fakta bahwa kamu masih di sekolah, kamu sudah menemukan jawabannya sendiri, bukan?”

Begitu kutanyakan itu, senyum Amasawa memudar dengan cepat.

Aku bisa melihat matanya bergetar, dan dari situ aku tahu bahwa dia belum menemukannya.

“Kenapa Senpai tidak minta mereka untuk membawaku kembali sekalian? Padahal kamu bisa saja mengeluarkanku dari sekolah bersama dengan Takuya.”

“Kau mengutamakan menikmati waktumu di sekolah ini daripada mengeluarkanku. Setidaknya, begitulah aku melihatmu. Aku tidak punya niat untuk mengeluarkanmu dengan paksa.”

Lebih tepatnya, itu juga berlaku untuk Yagami.

Kami tidak pernah ngobrol langsung dari hati ke hati, tapi dia tidak akan dikeluarkan jika dia mengutamakan untuk tetap tinggal di sekolah.

“Aku belum menemukan jawaban, lebih dari yang bisa Senpai bayangkan. Bahkan jika aku kembali, tidak ada tempat untukku… selagi aku memikirkannya, hanya waktu yang terus berlalu.”

Setelah mengatakan itu, dia menertawakan dirinya sendiri.

Dengan kata lain, dia belum memutuskan apakah akan tetap tinggal, atau bergerak maju.

Atau dia bisa memilih untuk mengarahkan taringnya padaku.

“Meski begitu, kamu sudah menemukan semacam tujuan. Itulah sebabnya kau memanggilku, bukan?”

“Yah, begitulah. Aku mulai berpikir bahwa mumpung aku masih disini, tidak salahnya kan jika aku tetap di sini. Aku tidak bisa kembali ke White Room, dan jika aku dikeluarkan pun, aku bahkan tidak tahu di mana orang tuaku. Karena gak ada lagi yang bisa kulakukan, gak maulah aku kalau sampai harus kerja paruh waktu yang gak jelas, ‘kan?”

Jika dia berkeliaran di jalanan, dia harus melakukan apa pun untuk bertahan hidup.

Tapi selama dia tinggal di sekolah ini, selama dia tidak dikeluarkan, kehidupannya terjamin sampai ia lulus.

Apalagi dengan sistem yang ada, dia bisa menjual poin pribadinya ke sekolah nantinya.

Dari yang kudengar sebelumnya, itu tidak akan jadi pertukaran yang setara, tapi bahkan jika hanya setengah dari itu, dia bisa menerima jumlah yang cukup besar.

Selain menerima sejumlah uang, dia juga bisa mendapatkan pekerjaan yang layak.

Atau pilihan ketiga. Amasawa sepertinya tidak mempertimbangkannya karena dia tidak tahu di mana mereka berada, tapi dia sebenarnya bisa mencari orang tuanya dan kembali kepada mereka.

Tapi mengingat dia adalah siswa yang secara resmi dikeluarkan dari White Room, pada dasarnya tidak ada jaminan bagaimana dia akan diperlakukan.

Dengan kata lain, memilih pilihan itu atau tidak itu tergantung pada orang tua Amasawa.

Pertama, orang tua Amasawa harus orang tua yang kaya, terkemuka dan berkuasa.

Jika pihak White Room tahu bahwa dia adalah anak dari orang ternama, kemungkinan dia akan diperlakukan dengan sopan akan meningkat.

Selain itu, orang tuanya menginginkan Ichika, putri mereka.

Jika kedua syarat ini terpenuhi, ada kemungkinan ia bisa memulai hidup baru sebagai seorang gadis normal.

Meski begitu, dia tidak perlu memaksakan diri untuk memilih pilihan itu sekarang.

Dia mungkin bertanya-tanya kenapa aku diam saja, Amasawa pun berkata dengan suara pelan.

“Aku akan tetap tinggal di sekolah ini. Itu juga asal Ayanokōji-senpai tidak keberatan... sih.”

“Bagaimana jika aku menyuruhmu untuk keluar?”

“Aku akan keluar.”

Apakah dia akan terpaku dan marah padaku, atau dia akan sedih.

Aku ingin tahu bagaimana reaksinya, tapi Amasawa menjawab dengan cepat.

“Tanpa keraguan ya. Kau tidak ingin membalaskan dendam Yagami?”

“Aku tidak ingin menyusahkanmu lagi.”

Artinya sebesar itulah tekad yang dimiliki Amasawa sebelum dia datang ke sini.

“Kata-kata itu tidak cocok Amasawa-san mengingat betapa agresifnya dirimu.”

“Betul sekali. Cuman Ayanokouji-senpai yang mendapatkan perlakuan khususku ini. Kalau untuk yang lain, kurasa aku tidak akan segan-segan nanti.”

Dia serius, sama sekali tidak bohong. Tampaknya Amasawa menghormati Yagami sebagai rekan seasal dan sesama siswa White Room lebih dari yang kuduga. Sangat mungkin mereka yang terlibat dalam pengusiran Yagami akan menjadi target Amasawa di masa depan.

“Tidak alasan bagiku untuk keberatan. Kalau kamu ingin tinggal, lakukan saja sesukamu, Amasawa.”

Aku tak tahu apakah itu cukup untuk mendorongnya, tapi dia terlihat sedikit senang dari senyum kecilnya.

“Kemampuanku tidak sebanding dengan Senpai, jadi aku bahkan bukan ancaman?”

“Bukan seperti itu. Aku juga hanya salah satu orang yang ingin tetap tinggal di sekolah ini, jadi wajar jika aku ingin mendukung Amasawa jika kamu membuat pilihan yang sama.”

Apakah dia sekutu atau musuh itu adalah masalah sepele.

Tentu saja jika dia mengganggu rencanaku, aku tak akan mengabaikannya begitu saja.

Kuharap dia sangat memahami hal itu setelah apa yang terjadi dengan Yagami.

“...Begitu ya.”

“Jika itu keinginanmu yang sebenarnya, maka aku juga akan mendukungmu, Amasawa-san.”

Jawab Nanase, meski ekspresinya terlihat belum sepenuhnya menurunkan kewaspadaannya.

“Are, ada air yang keluar dari mataku... ini, apa ya... ini baru pertama kali aku merasakannya.”

“Apanya, jelas-jelas gak ada air mata keluar.”

“Ahaha, aneh yaa. Padahal aku sangat tersentuh.”

Ini sikapnya yang seperti biasa, tapi kelihatannya ini adalah actingnya untuk menyemangati dirinya sendiri dengan paksa.

“Kau mungkin tidak ingin membahas ini, tapi orang seperti apa Yagami itu?”

“Aku juga penasaran. Aku masih tidak tahu kenapa dia terus berbelit-belit sebelum mencoba mengeluarkan Ayanokōji-senpai.”

Kenapa dia melukai grup Shinohara, saat dia tahu itu sangat berisiko.

Kenapa dia mengeluarkan paksa seorang siswa kelas C tahun pertama yang tidak ada hubungannya.

Pihak sekolah juga telah mengumumkan insiden itu sebagai kelakuan buruk Yagami, sehingga banyak orang sudah mengetahuinya.

Adapun Nanase, pasti ada banyak hal yang ingin ia ketahui.

“Baiklah...”

Ia tampak berpikir sebentar, tapi tak lama kemudian ia mulai bicara satu per satu.

“Kurasa Takuya takut. Takut melawan Ayanokōji-senpai. Namun aku yakin, rasa takut itu tersimpan begitu dalam di hatinya hingga dia bahkan tidak menyadarinya.”

Penilaian dari Amasawa, seseorang yang mengenal Yagami lebih baik dari siapapun.

Aku tidak perlu sampai memotong dan menanyakan lebih detail karena sepertinya itu benar.

“Untuk lari dari ketakutannya, bahkan sebelum dia menyadarinya, dia terus mengambil jalan memutar...”

Hingga akhirnya ia menggali kuburannya sendiri.

“Mungkin aku butuh waktu sedikit lebih lama untuk kembali ke diriku yang biasanya. Tapi itu tak akan lama... sampai aku kembali ceria lagi.”

Dia sama sekali tidak perlu memaksakan diri untuk langsung pulih.

Bahkan belum genap setahun sejak Amasawa mulai bersekolah.

Sekarang, dia hanya perlu pelan-pelan memikirkan jalan yang ingin dia ambil.

“Itu saja yang ingin aku katakan. Kalo gitu, aku akan pulang sekarang. Bagaimana denganmu, Nanase-chan?”

Mau pulang bareng? Dia mengajak Nanase, tapi Nanase menggelengkan kepalanya.

“Maaf, tapi aku ingin bicara dengan Senpai sebentar. Kamu gak keberatan, ‘kan?”

“Ooh. Kalau begitu, khusus buat hari ini, aku akan meminjamkannya.”

Aku bukan milikmu, tapi itu mungkin usaha terbaik dia untuk terlihat ceria meski aslinya tidak.

Tidak ingin berlama-lama di sini, Amasawa mulai berjalan menuju asrama.

Aku dan Nanase dalam diam mengawasinya pergi sampai dia tidak terlihat lagi.

Ekspresi Nanase tampak tegas.

“Setelah mendengar ucapannya, mengamati sikap dan gesturnya, bagaimana menurutmu?”

“Apa maksudmu?”

“Aku masih sedikit khawatir soal kemungkinan adanya masalah dengan perilaku Amasawa-san di masa depan.”

Sepertinya dia terus menatapnya tajam karena dia takut akan hal itu.

“Kau tidak mempercayainya?”

“Bukannya aku tidak ingin mempercayai Amasawa-san. Tapi, kupikir kita tetap boleh lengah.”

Ucapannya terdengar ringan, tapi tidak diragukan lagi kalau dia tidak mempercayainya.

“Aku tidak akan lengah. Atau lebih tepatnya, aku hanya akan sama seperti biasanya.”

Alasan aku di sekolah ini adalah untuk menjalani kehidupan sebagai seorang siswa.

Aku tak akan terpengaruh oleh musuh, tidak peduli seberapa dekat atau jauhnya mereka.

“Kekhawatiranku yang tidak perlu... ya.”

“Aku bersyukur atas perhatianmu. Karena tidak ada yang lebih baik daripada memiliki sebanyak mungkin orang di pihakku.”

Meskipun Nanase kurang lebih bisa menerima cara berpikirku, dia melanjutkan.

“Aku sudah siap untuk dianggap keras kepala, tapi biarkan kukatakan ini sekali lagi. Kemampuan Ayanokōji-senpai, dan kemungkinan Amasawa-san sudah bertobat. Meskipun aku mengerti itu, tolong tetaplah berhati-hati. Amasawa-san adalah siswa dari White Room itu adalah fakta yang tak terbantahkan. Kita tidak tahu metode apa yang akan dia gunakan.”

Dia ingin aku mempersiapkan segala kemungkinan, itulah permintaan kuat dari Nanase.

“Aku ingin Ayanokōji-senpai tetap tinggal di sekolah ini hingga lulus.”

Aku tidak akan bilang itu bukan urusannya, tapi kelihatannya Nanase lebih peduli tentang diriku daripada dirinya sendiri.

“Kalau ada masalah tidak peduli sekecil apa pun itu, silahkan bicarakan padaku kapan saja.”

“Aku mengerti maksudmu. Aku akan mengingatnya.”

Setelah percapakan panjang kami, Nanase akhirnya pasti puas.

“Kalau begitu aku permisi.”

Nanase berbalik untuk kembali ke asrama, mungkin dia mengira akan menggangguku jika dia masih di sini.

Untuk seseorang yang terus memberitahuku untuk jangan mengendurkan kewaspadaanku pada Amasawa, ada sesuatu yang mengganjal.

Aku putuskan untuk menggali lebih dalam untuk memastikannya.

“Aku lupa bilang, kami akan melakukan perjalanan sekolah minggu ini.”

“Oh begitu. Benar juga. Senpai, kuucapkan selamat bersenang-senang. Perjalanan sekolah sungguh adalah bagian terbaik dari kehidupan sekolah.”

“Tentu.”

Benar saja, ada kejanggalan. Terlepas dari apakah dia sudah tahu tentang perjalanan sekolah atau tidak, seharusnya ada yang harus dia katakan padaku. Namun sampai sini Nanase bahkan tidak tampak seperti akan mengatakannya.

Seolah-olah hal itu benar-benar telah luput dari pikirannya.

“Apa kau menginginkan sesuatu buat oleh-oleh?”

Aku menghentikan Nanase dan menggali lebih dalam terkait perjalanan sekolah.

“Ngomong-ngomong, ke mana tujuan kalian pergi?”

“Hokkaidō.”

“Heeh, seru tuh Hokkaidō. Di Hokkaidō... ada apa ya? Mungkin mentega?”

“Bawa mentega saja buat oleh-oleh itu, agak gimana gitu.”

Aku tidak akan menolaknya jika memang itu yang paling dia inginkan, tapi sepertinya juga bukan.

“Ah, kalau begitu, keripik kentang berlapis cokelat boleh juga. Makanan itu terkenal, ‘kan?”

“...Aku tidak tahu.”

Percakapan kami mulai terasa tidak jelas.

“Keripik kentang coklat, aku akan mencarinya nanti. Jika aku menemukannya di sana, aku akan membelinya.”

“Terima kasih.”

Ketika Nanase mengatakan itu dan hendak pulang lagi, aku memanggilnya dengan keras.

“Nanase. Bolehkan aku tanya sesuatu?”

“Ya? Apa itu?”

Perkara Amasawa dan perjalanan sekolah.

Kalaupun siswa biasa tidak bisa melihat keterkaitannya, Nanase bisa.

Tidak, malah aneh jika dia tidak bisa melihatnya.

“Untuk seseorang yang mengkhawatirkanku, kamu tidak sekali pun menyebutkan kekhawatiranmu terhadap perjalanan sekolah.”

“Eh...?”

Nanase memiringkan kepalanya, seolah-olah dia tidak tahu apa aku bicarakan.

“Kamu tidak mengerti?”

Coba pikirkan baik-baik, perintahku yang membuat senyuman lembut Nanase mengeras untuk sesaat.

“Sekolah ini memiliki keamanan yang ketat, fasilitas yang bisa dikatakan terlindungi dari dunia luar 24 jam sehari. Faktanya, Tsukishiro sendiri harus masuk ke dalam untuk mencoba mengeluarkanku. Tapi perjalanan sekolah ini lain lagi ceritanya. Pengawasan guru tidak terlalu baik, dan akan ada lebih banyak waktu dan kesempatan untuk lebih waspada daripada di pulau tak berpenghuni.”

Ya, risiko itu seharusnya jauh lebih besar daripada Amasawa yang sudah tak berniat melawanku.

“Kalau kau mengenal mereka, kau bisa bayangkan mereka bisa menggunakan cara-cara kekerasan, seperti memaksaku masuk ke dalam mobil. Kalau kau sebegitu waspadanya pada Amasawa, apa lagi ini, kau harusnya menambahkan setidaknya sepatah dua patah kata lagi. Seperti, tolong berhati-hatilah. Apakah aku salah?”

Dia tidak tahu apa yang akan dilakukan Amasawa, jadi dia memeriksanya sampai dia berangkat sekolah.

Kemudian dia memprediksi pertemuan mereka dan bahkan sampai ikut datang ke sini.

Setelah semua itu, tidak mungkin Nanase tidak menyadari betapa berbahayanya perjalanan sekolah.

“Ayanokōji-senpai sudah menaklukkan Yagami-kun dan Amasawa-san, jadi kekhawatiranku itu tidak per———”

“Itu aneh. Kalau memang begitu, kamu tidak perlu berdiri di samping Amasawa dan mengawasinya di sini hari ini. Dan itu juga bertentangan dengan peringatanmu yang terus-menerus. Tidak seperti di luar, di mana bisa jadi ada banyak orang dewasa yang datang, Amasawa hanya sendirian, meskipun ia adalah siswa White Room. Dari segi bahaya, keduanya bahkan tidak sebanding.”

Nanase yang bingung segera membuka mulutnya... tetapi tidak ada kata-kata yang terucap.

“Kamu tidak bisa memikirkan alasan?”

“Apa yang Senpai katakan? Sepertinya Ayanokōji-senpai sudah salah paham.”

Terlihat jelas tadi sempat ada kegelisahan sesaat, tapi Nanase sekarang sudah tenang.

“Mungkin aku salah paham. Kalau begitu, jelaskan lagi apa pendapatmu soal perjalanan sekolah. Setelah Kamu mengkhawatirkan Amasawa yang mungkin putus asa dan terus mengawasinya, tapi kenapa kamu tidak mengatakan sepatah kata pun tentang kekhawatiranmu terhadap perjalanan sekolah?”

“Aku malu untuk mengakuinya, tapi kupikir aku telah meremehkan bahaya. Kalau dipikir-pikir lagi, seperti kata Ayanokōji-senpai, dunia luar penuh dengan bahaya...”

Nanase menjawab bahwa dia hanya terlalu meremehkannya.

Tentu saja, jika itu benar, aku akan bisa memahami alasannya.

Tetapi sayangnya, itu tidak cukup bagiku untuk menarik kesimpulan.

“Sejak bertemu denganmu, aku selalu bertanya-tanya. Ini soal hubungan antara Tsukishiro, siswa White Room dan Nanase. Harusnya kamu sudah diberi banyak perintah oleh Tsukishiro, tapi kenapa dia tidak pernah memberi tahumu secara spesifik?”

Keinginan Nanase Tsubasa untuk membalaskan dendam Matsuo Eiichirō dimanfaatkan oleh Tsukishiro untuk membuatnya patuh terhadapnya.

Di sisi lain, Tsukishiro tidak mengungkapkan apa pun tentang identitas siswa White Room tersebut.

“Itu karena aku orang biasa... kurasa. Karena aku tidak sekompeten siswa White Room, tidak aneh jika dia tidak mempercayaiku.”

“Pada awalnya, aku tidak terlalu menilai tinggi pria bernama Tsukishiro ini. Itu karena kupikir ada cara yang lebih efisien untuk mengeluarkanku dari sekolah. Namun, setelah aku berinteraksi dengannya, aku berubah pikiran. Aku merasa pria itu mampu membuatku dikeluarkan dari sekolah.”

Kesimpulan itu pantas kuberikan karena dia sengaja menahan diri.

“Pada akhirnya Senpai tidak dikeluarkan. Bukankah itu karena kemampuan Ayanokōji-senpai melebihi apa yang diharapkan Direktur Pengganti Tsukishiro?”

“Jika sesederhana itu, maka mungkin saja.”

Dengan kata lain, rangkaian peristiwa ini mungkin tidak tersusun sesederhana itu.

“Mari kita kembalik ke topik, menurutku ada alasan lain kenapa kamu mewaspadai Amasawa dan tidak memperingatkanku akan bahaya dunia luar.”

“Kurangnya kesadaranku itulah kebenarannya. Apa lagi kira-kira menurutmu?”

“Bukankah itu karena kamu tidak bisa menebak apa yang akan dilakukan Amasawa hari ini? Dan alasanmu tidak memperingatkanku akan bahaya perjalanan sekolah adalah karena kamu tahu bahwa White Room tidak memiliki niat atau keinginan untuk melakukan hal itu, bukan?”

Jika tidak ada kemungkinan mereka akan mencoba sesuatu, masuk akal jika Nanase tidak khawatir.

“Aku tidak begitu paham. Bagaimana aku bisa tahu dengan pasti kalau ini tidak mungkin?”

“Itulah yang ingin aku tahu.”

“Setelah percakapan ini, aku sangat menyadari risiko selama perjalanan sekolah. Kini aku ingin kamu untuk lebih berhati-hati tentang hal itu lebih dari tentang Amasawa-san.”

Tidak peduli berapa kali aku menanyainya, Nanase terus beralasan bahwa itu kurangnya kesadarannya.

“Ini hanyalah sebuah hipotesis, tapi maukah kau mendengarnya?”

“Tentu saja.”

“Tsukishiro tidak pernah berniat mengeluarkanku sejak awal———itulah hipotesisku.”

Itu akan menjungkirbalikkan premis selama ini, tapi hipotesis ini mengindikasikan berbagai koneksi.

“Bukankah itu aneh? Bagaimana kamu menjelaskan keberadaan Amasawa-san dan Yagami-kun? Terutama Yagami sudah mencoba untuk mengeluarkan Ayanokōji-senpai, terbukti dari percakapan kita dengan Amasawa-san.”

“Jika Amasawa dan Yagami serius karena para petinggi mereka belum pernah memberitahukan tujuan mereka yang sebenarnya, itu akan masuk akal.

“Tapi bagaimana dengan Direktur Pengganti Tsukishiro? Dia memanfaatkan posisinya yang berkuasa untuk menggunakan sejumlah metode pemaksaan.”

“Jika dia serius, aku sudah dikeluarkan.”

Seharusnya dia sudah menguburku dengan paksa dari segudang pilihan, sebelum bicara soal kemampuan.

“Aku paham cara berpikirmu, Senpai. Barangkali dia mungkin benar-benar menyembunyikan niatnya tersebut. Tapi, bahkan aku pun dimasukkan ke dalam skema itu... aku agak terkejut. Aku tidak ingin dianggap sebagai musuh hanya gara-gara aku melewatkan bahaya dari perjalanan sekolah.”

“Kalau begitu sekalian ku tanya, bagaimana dengan Festival Budaya? Orang-orang dari White Room sangat dekat dengaku, tapi kamu bahkan tidak pernah muncul dihadapanku. Apakah itu juga kurangnya kesadaranmu?”

“...Itu...”

“Kamu terlalu sibuk dengan kreasi kelasmu sendiri hingga tidak sempat? Kau menduakan kekhawatiranmu.”

“Ti-Tidak. Mm, tentu saja aku khawatir. Sesekali aku mengawasi keadaan Senpai———”

“Apa kamu yakin? Benar-benar mengawasiku? Jika kamu berkata begitu, aku selanjutnya akan bertanya lagi jam berapa dan di mana kamu melihat keadaanku.”

Tidak peduli apa status Nanase, seharusnya dia cukup mengenalku dengan baik.

Jika dia membuat pernyataan palsu dengan mudah, sudah pasti itu akan langsung terbongkar.

Aku masih ingat setiap detail dari jalannya festival budaya hari itu.

“Bahkan di Festival Budaya, mereka tidak mencoba mengeluarkanku dengan paksa. Ada ajakan sukarela, tapi kamu pasti tahu tanpa berpikir kalau tidak mungkin aku akan dikeluarkan dari sekolah karena hal seperti itu. Itu juga menjelasakan ketidakmunculanmu, Nanase.”

Nanase diam-diam menelan ludah sambil menekan emosinya.

“Pihak White Room tidak berniat mengeluarkanku dalam Festival Budaya dan perjalanan sekolah. Tidak, tidak ada rencana seperti itu sejak awal. Jika hipotesisku ini benar, keberadaanmu terlihat sangat aneh, Nanase.”

“......”

“Apakah Matsuo benar-benar telah bunuh diri? Dan apakah putranya, Eiichirō, sudah mati? Pernyataanmu yang kupikir adalah pihak ketiga, semakin membenarkan tentang kematian Matsuo, tapi jika kamu berada di sini karena rencana yang sudah diperhitungkan sejak awal, maka semua kredibilitasnya akan hilang.”

Soal apa yang dia katakan di pulau tak berpenghuni, dan soal keberpihakannya padaku setelah sebelumnya memusuhiku, jadi meragukan.

“Semua yang kukatakan itu benar, Ayanokōji-senpai. Meski kubilang begitu, meski itu hanya hipotesis, aku yakin itu tidak akan bisa menghilangkan kecurigaanmu padaku jika kamu mencurigaiku seperti itu.”

Satu-satunya cara untuk membuktikan kebenaran ucapannya adalah dengan memeriksa kartu keluarga.

Tentu saja, jika pihak White Room terlibat, bahkan itu pun masih dipertanyakan.

“Dengan hipotesis itu, lalu apa alasanku datang ke sekolah ini? Itu tidak bisa dijelaskan.”

“Tidak, itu bisa dijelaskan. Sejalan dengan gagasan kalau Nanase adalah bantuan untukku. Peranmu adalah untuk mendukungku agar tidak dikeluarkan oleh siswa White Room, yaitu Yagami dan Amasawa. Pernah sekali kita berselisih karena masalah Matsuo, bisa kuanggap itu sebagai cara untuk membuatku lengah.”

Dia bertarung sebagai musuh dan berubah menjadi sekutu. Tergantung waktu, situasi dan kondisi, kepercayaan bisa dibangun dalam waktu singkat.

“Kamu diberi peran sebagai ksatria, persis seperti kata Amasawa———itulah yang kutangkap.”

Tsukishiro memberikan Nanase dan kubu Yagami Amasawa peran untuk mengeluarkanku dari sekolah.

Nanase diberikan peran sebagai sekutuku dengan berpura-pura menjadi musuhku untuk melihat kemampuanku.

Dalam peran itu, dia dengan sengaja tidak diberi informasi tentang siswa White Room, dengan begitu dia pun bisa melakukan penalaran serius denganku.

“Ini hanyalah hipotesis. Kenyataannya, masih cukup besar kemungkinannya dia serius ingin mengeluarkanku. Dan dalam kedua kasus tersebut, aku tidak akan rugi. Jika hipotesisku ini benar, Nanase adalah sekutu sejati, dan bahkan jika tidak, kamu masih akan menjadi sekutu seperti sebelumnya.”

Tidak ada istilah dua sisi pada koin, karena hanya ada gambar yang sama di kedua sisinya.

Tapi mari kita sisihkan itu di sudut pikiranku.

Kemungkinan bahwa pria itu tidak bergerak untuk mengeluarkanku dari sekolah.

Lalu untuk apa?

Sejak kapan tepatnya?

Hidup mati Matsuo, serta hidup mati putranya.

Entah itu benar atau salah, itu tidak benar-benar memengaruhi situasinya.

Bagaimana kalau segala sesuatu yang telah terjadi selama ini dijungkirbalikkan....

Masuknya aku ke sekolah ini, semua itu mungkin sudah direncanakan sejak awal.

“Apa pun yang kukatakan sekarang, kelihatannya Ayanokōji-senpai tidak akan mempercayainya. Aku pikir hanya waktu yang bisa menghilangkan keraguanmu.”

“Aku tidak tahu adakah cara untuk menghilangkan keraguanku, tapi kurasa kau benar. Malahan, kamu bisa terus memperlakukanku seperti sebelumnya.”

“Tidak bisa begitu. Karena aku... tidak bisa puas dengan itu.”

Nanase dengan cepat menundukkan kepalanya dan berjalan cepat untuk pulang.

Nanase tidak memiliki kekuatan fisik yang setinggi siswa White Room.

Tingkat kemampuan akademiknya tidak terlihat, tapi bahkan dalam hal proses berpikir, dia saat ini selangkah di belakang Amasawa dan Yagami.

Namun———.

Masih ada sesuatu tentang Nanase Tsubasa.

Hanya firasat itu yang pasti kurasakan.

Related Posts

Related Posts

6 comments

  1. Plow twist nya bagus juga walaupun ga segila Liar Game.

    ReplyDelete
  2. ternyata mc kita juga diperalat

    ReplyDelete
  3. Gimana kl ternyata bapaknya sendiri yg nyuruh matsuo buat masukin kiyo k sekolah itu, tujuannya buat nguji dia aja apakah pantes disebut masterpiece atau enggak 🤔

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kayakny sih begitu. WR dan Koudo Ikusei itu singkron yaitu tujuannya sama sama untuk pemerintah Jepang, ya walau tujuan WR itu sendiri belum di spill dengan jelas selain membtnuk anak jenius tapi menurutku sama kek SMA KI. Ya walau secara kurikulum beda. Kalau WR lebih membentuk individu secara intelektual dan melatih ketahanan serta kekuatan fisik, kalau koudo ikusei lebih ke kehidupan bermasyarakat.

      Delete
  4. Jadi ke ingat scene terakhir di vol sebelumnya.

    ReplyDelete
  5. Join lanjutannya kapan update? Udah 3 minggu nih masa belom update min

    ReplyDelete