-->

Cari Blog Ini

Chitose-kun wa Ramune Vol 7 Bab 1 Part 2 Indonesia

Bab 1
Bulan September kami


Sembari memandangi sisa-sisa permukaan air yang bergoyang-goyang dan tampak sejuk, atau sisa-sisa potongan musim panas bak sebuah album, kemeja lengan pendek nun lembut berkibar-kibar dibantaran sungai.

Tumbuhan yang masih hijau segar, bahkan di pagi hari masih terdengar suara jangkrik di bawah terik matahari yang tampaknya masih membuat orang-orang berkeringat.

Di tengah pemandangan yang tak banyak berubah sehingga terasa bak ilusi seperti upacara kelulusan di bulan Juli kemarin, langit yang tampak sedikit makin menjauh, dan langkah kaki ringan para junior yang berjalan dengan sepatu pantofel mereka yang terdengar tak asing bagiku. Itu seperti buku harian bergambar yang meyakinkanku bahwa waktu telah berlalu tanpa ragu.

Selagi berjalan, tak..tak…tak, aku menutup mulut karena menguap.

“Pagi Saku-kun,”

*Puk* seseorang menepuk bahuku dari belakang .

Tanpa menoleh dan memastikannya dengan saksama, aku melirik ke kanan ke garis bahuku, lalu menyapanya.

“Pagi Yua.”

Seolah-olah dengan lembut menerima sapaan itu dengan kedua tangannya, sosok kalem Yua berada di sebelahku.

“Kamu menguap besar sekali, kamu kurang tidur di hari pertama sekolah?”

“Tidak, aku tidur nyenyak sekali. Tapi tubuhku rasanya masih merasakan sisa-sisa liburan musim panas.”

“Sudah selesai mengerjakan PR?”

“Sudah, dong. Aku sudah mengisinya dengan baik karena melihat cuaca di buku harian bergambar.”

“Begitu, ya. Kamu memang selalu begitu.”

Sambil menghitung waktu percakapan seperti latihan pemanasan di semester kedua, yang malah membuatku menjadi frustasi, dari tadi aku melirik Yua yang malu-malu menyentuh rambutnya selama beberapa waktu.

“Tenang saja, rambutmu sudah rapi.”

Ketika mengatakan lelucon seperti itu, dia menoleh ke arahku dan menjadi jengkel.

“Tentu saja. Sebelum keluar rumah aku sudah bercermin.”

Entah mengapa aku menyadari bahwa kita berdua merasakan kecanggungan. 

Anehnya aku malu melakukan kontak mata dengannya, aku akan banyak bicara karena menjadi sadar terutama terhadap hal-hal biasa yang menyebabkan percakapan samar-samar seperti bulu-bulu halus yang terbang ketika ditiup sehingga timbul jeda di antara dialog yang tampak tergesa-gesa….

Tetapi, setahuku itu sudah lebih dari cukup.

Yua yang sedikit bisa mengatasi keadaan seperti semula, melanjutkan percakapan seolah tak terjadi apa-apa.

“Sudah sarapan?”

Namun, sepertinya tidak begitu.

“Aku memanggang asinan yang dipilih Yua untukku di pasar."

“Be…begitu, ya. Enak?”

Sementara kasihan dengan Yua yang terjebak kata-katanya sendiri, percakapan ini malah terus berlanjut.

"Ah, berkatmu aku jadi merasa sedikit menyukai ikan belakangan ini.”

Aku menjawab dengan penuh kesadaran karena tak mau bertingkah acuh tak acuh.

Aku tak bisa pura-pura melupakan waktu yang telah diberikan oleh gadis yang ada di depan mataku ini.

Karena aku mau menghadapi perasaan seseorang maupun perasaanku sendiri dengan baik.

Yua di suatu tempat yang tampak malu-malu mengatupkan mulutnya, tertawa cekikikan dengan sorot mata lembut yang terlihat senang. 

"Sepertinya aku harus segera pergi berbelanja lagi."

"Yah, lain kali aku akan meminta menu berbahan dasar daging yang banyak."

"Huh, selalu bicara begitu..."

Aku senang bisa berjalan lagi di jalan ini.

Dengan lembut aku membisikkan ucapan terima kasih tanpa kata kepada orang di sebelahku. 

Sementara perlahan-lahan menyelaraskan langkah kaki kami berdua, aku merasakan di suatu tempat di kejauhan sana nada lembut saksofon mengalir bebas dan elegan.

Related Posts

Related Posts

Post a Comment